Selasa, 29 Maret 2016

Mengeja makna



Sampai telapak menginjak durja
Gentar sapu mengepak nyawa
Tak pernah berhenti aku mengira
Disitu aku bisa menyambung nyawa
Meski harus berlomba dengan nyawa
Bahkan aku tak mengerti mengapa
Aku disebut kecoa?
Ya Tuhan tolong jelaskan padaku mengapa?

Mengapa derajatku sebegitu hinanya.

Berfikir



Sebagai manusia, sudah selayaknya bisa berfikir. Bahkan gua rasa itu harus. Karena manusia dianugerahi oleh Tuhan sebagai manusia yang paling sempurna sekaligus. Bagaimana tidak sempurna. Akal dan hawa nafsu diciptakan dalam satu tempat. Hanya manusia. Tak ada makhluk lain (Gua harap itu benar).

Di ibaratkan seperti air dan kayu bakar. Akal sebagai air dan nafsu sebagai kayu bakar. Keduanya akan sangat berguna bila dimanfaatkan dengan baik, pun tidak ada manfaatnya bila tak tau caranya. Air hanya digunakan untuk minum lalu hilang dahaga, begitu seterusnya. Kayu, dibangun untuk membangun rumah lalu selesai. Biasa saja. Namun ketika manusia berhasil dan bisa menghadirkan atau menemukan api, lalu dipertemukannya keduannya. Air, kayu bakar, api. Di dalam tungku perapian. Lalu air mendidih berembun menguap terus sampai kering lalu terbakar dan tiba pada sang Akhirnya.

Kayu dan Air diatas tungku perapian. Air mendidih dan terus menguap, lalu uap-uapnya menyatu dengan sang Penciptanya. Karena tujuan embun diciptakan hanya karena ingin kembali pada penciptanya. Dan kita(manusia) adalah embun yang menguap pada keterhilangan menuju Penciptanya.

Apa dan siapa si Api itu? Api itu adalah Kepercayaan. Kepercayaan kita akan suatu yang penuh energi. Tempat  semua enegi me re-charge. Tegas namun penuh kasih sayang. Diacuhkan namun tak pernah mengacuhkan. Kau kasih Dia uang palsu. Dia tetap menerima sampai pada saatnya kau sadar bagaimana caranya memberi tanpa hakekat memberi itu sendiri.
Api itu merupakan kepercayaan. Kepercayaan yang ada pada setiap insan di bumi ini. Kepercayaan yang ia simpan dalam hatinya. Tetapi tumbuh dengan suasana yang sangat berbeda. Sehingga hasil dan penggunaanya pun tidak sama.


Entah gua pun gak ngerti. Siklus macam apa ini. Kalo temen-temen bingung mahaminnya. Bahkan gua yang nulis pun bingung. Cuman pikiran liar ini kayanya sayang kalo gak di tulis. Rasa-rasanya akan ada aja gitu gunanya, entahlah. Well. Itulah sekilas gambaran ketika ide liar berhasil di tintakan. Eh bukan di tintakan deh, tapi di pensilkan. Ya gitulah pokonya  

Kerusuhan di kantor birokrasi otak


Amarah datar hidup. Bosannya detik waktu. Kegagalan hendak impian, meleburnya harapan. Sepinya hati. Dangkalnya Iman. Pelampiasan hasrat kotor tak tertahan. Beban yang tak seharusnya dirasa. Makian diri terhadap waktu yang tak bersalah, sama sekali. Pertengkaran orang tua yang membesut emosi. Perkuliahan yang jadi asa yang tetap berpacu,  hanya tertunda. Tapi cukup menyiksa bila aku terus membuatnya hanya menjadi limbah, sampah. Jatuh terbalik dari kesibukanku pada sekolah kemaren, yang hampir tak pernah ada limbah waktu. Hanya beberapa hitungan mungkin ada. Tapi tak sebanyak sekarang.

Semua denyutan kata dalam arus sel-sel otak yang membuahkannya menjadi pikiran terus berebut berdesak memukul dinding pemikiran dan perasaan yang selalu sering di koyak-koyak hasrat bejat keparat. “bangsat keparat, antre!!! Satu-satu!!”

Sruuuup....... hangat aroma dan lembut rasa pahit manisnya berhasil membuat semua ricuh piluh terdiam. Kadang sejenak. Tak sering juga berhari hingga berminggu. “bagus. Antre semua. Rapih. Ato gua amuk lu satu-satu, anjing!”

Kopi berhasil mengomandokan kedisiplinan dalam otak yang hanya sekian nol persen saja terpakai. Seperti ada panglima yang berdiri berteriak lantang mengomando. Lalu semua rusuh mendadak rapih. Tak berdesak. Antre terajegan. Patuh.

Membuat denyut-denyut kehidupan menjadi bersabar menunggu di selesaikan. Dipikirkan. Diperhatikan. Dan di hapuskan.


Pagi itu, Kopi jadi pipa air super power yang menertibkan perusuh di depan kantor Birokrasi otakku. “thanks kop! Lu emang ga ada duanya.”

Kamis, 24 Maret 2016

Puisi untuk Aisyiah



Ku coba tuk berdamai dengan emosi, merasuk dalam rasa bersatu dengan asa
Ini mungkin hanya sementara atau mungkin selamanya?
Biarkan waktu kan membawa
Sepucuk rasa ini kepadanya
Sampai dia merasa
Sampai aku rasa
Bahwa kamu dan aku bisa
Bahwa kamu telah cinta

Hari ini aku mencintaimu
Mungkin besok tidak, lusa pun tidak
Tapi apa hari-hari selanjutnya bisa?
Entahlah, aku pun tak yakin bahwa ini cinta
Cinta yang menyimpan harapan asa dan rasa
Hanya waktu yang bisa berjanji bahwa semua kan berjalan pada porosnya

Aku tak mau berjanji sepatah pun
Bahwa aku akan mencintaimu di hari yang lain dibulan yang lain atau di tahun yang lain
Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku pernah mencintaimu dalam mimpi dan nyataku
Tapi itu terlalu lebay
Aku mencintaimu dalam ketidaktahuanku tentang cinta

Jangan kamu terpanah dengan abjad-abjad ku ais
Semua abjad hambar terasa tanpa rasa
Terpanahlah karna rasa ais

-zulfikar-


Temen si pelipur lara

sorry kalo gambarnya agak mainstream
Temen emang sudah menjadi darah dan daging dalam kehidupan gua. Jujur setelah keluarga orang yang paling istimewa adalah temen. Itu setelah umur gua 19th. Sewaktu masih jaman-jaman sekolah temen lebih istimewa dari keluarga. Karena temenpun jadi keluarga gua setelah keluarga kandung .
 Temen yang ada di samping lu ketika lu butuh telinga untuk meluapkan kata-kata yang kita sebut cerita, unek-unek, prosa dan cinta. Temen yang kadang bukan temen kalo belum ngelakuin sesuatu yang di bilang bodoh itu bareng-bareng. Temen itu ga bakal ngebiarin temennya ngelakuin sesuatu yang bodoh...........sendirian. Temen emang punya pengaruh yang begitu besar dalam kehidupan kita. Bahkan kata Imam Ja’far Asshadiq a.s, “kamu adalah siapa temenmu.” Bener banget tuh Imam Ja’far a.s. Kalo kita temenan sama tukang minyak wangi, ya kita secara ga langsung bakal ketularan wanginya, naah kalo kita temenan sama tukang ikan asin yaa secara gak langsung kita bakal ketularan juga bau amisnya, trus lama-lama mukanya juga jadi asin, cobain aja kalo ga percaya.
Naah temen gua yang satu ini, sebut aja namanya esi. Bukan sukaesih penyanyi dangdut itu. Namanya quraisy javanipous nomadenious. Ga pernah jelas dia darimana, dari lahir dia udah nomaden, bahkan waktu bikinya aja nomaden –mungkin, wkwkwk-. Dia ini salah satu temen baik gua di smp. Padahal gua kenal dia itu cuman di sisa-sisa gua kelas 3 SMP. Dan 4 ato 5 bulan lagi itu UN. Tapi mungkin gara-gara kita sepemikiran dan sepemberontakan –etseeeh gaya- maka kitapun seketika deket gitu aja dan hampir di setiap disitu ada gua, si esi javanipous ini ada, anjaaaas kaya sendal gitu daah.
Gua sebut dia itu temen pelipur lara karena, setiap kali gua cerita tentang kepahitan yang gua alami. Pasti dia lebih pahit dari gua. Pasti itu. Itu udah teruji di UIN Bandung dan ITB. Misal begini, gua belum di beliin hp bagus, dia ga punya hp. Gua pengen beli kaos keren, kaos dia yang bagus cuman satu. Dan sekali pake, seminggu baru di cuci. Gua ga punya duit tapi tetep bisa makan, duit dia ilang dan makan cuman sama masako. Gua udah punya sepatu trus pengen beli sepatu keren, dia sepatunya jebol, boro-boro beli sepatu. Gua cerita kalo gua stress di setiap hari-hari libur, dia stress setiap hari. Ibarat teori megantronipus soktahunikus begini nih. Gua naik pohon make tangga dan di pegangin esi, tiba2 tangga’a goyang dan gua pun jatuh. Nah esi jatuh ketimpan tangga, ama pohon pohonnya juga. Pasti dia lebih complicated dari pada gua kesengsaraannya. Entah gua pun ga ngerti. Setiap weekend gua ketemu pasti kalo kita tuker cerita, selalu dia yang lebih ngenes. Sampe-sampe sempet gua bilang ke dia, “si, bisa ga sih setiap minggu lu cerita yang seneng-seneng gitu, tiaaaaap gua ketemu lu pasti pahit mulu yang diceritain, muka lu udah pahit jangan mait-maitin lagi kehidupan lu.”
Karena ketika itu gua lagi di Bandung les B. Jerman buat persiapan (niatnya) pergi ke Jerman. Karena lesnya dari hari Senin sampe Jum’at. Sabtu Minggu libur. Temen-temen gua karena kebanyakan orang Jakarta, sering pulang kalo Sabtu Minggu. Makanya sering kesepian gua kalo weekend. Kalo mereka (temen les) ada pun, mereka maenya ke bioskop. Ya mana gua bisa gabung. Ga makan 4 hari gua kalo pergi nonton. Naah gua gak bakal kesepian kalo esi mau nemenin gua maen pas weekend. Meski cuman maen sekedar ngopi ngopi aja di warkop. Tapi gua seneng masih ada temen seperjuangan sama sengsaranya, tapi lebih sengsara dia deh kayaknya. Selamat berjuang brow.

Ya begitulah temen gua yang aneh dalam sejarah pertemanan gua.
Semoga kesengsaraan dia makin berkurang dari getir pahitnya kehidupan ini. Meski sebenernya gua pun pahit. Karena yang gua minum adalah ampasnya, bukan kopinya.

Pesan moralnya : Lihat semua hal dari sisi yang baiknya. Ato kita gak bakal pernah ngeliat kalo di tengah kepahitan itu ada gula didalamnya atopun setelahnya.

Rabu, 23 Maret 2016

Salah beli kaos di Online Shop


penampakan kaosnya. kalo berdiri baru keliatan cingkrangnya

Gua suka banget ama yang simpel-simpel. Sederhana simpel gampang, itu sifat dari hal-hal yang gua suka. Yaa bisa dikatakan itu adalah salah satu sifat dari kepribadian gua (sok ngerti dikit kan gapapa). Maka berpenampilan pun suka yang simpel-simpel.
Kaos, celana jeans trus sendal ato kadang sepatu. Kaos, celana cargo pendek, bawahnya sendal. Karna itu pula gua suka kaos. Lifestyle fashion ato fashion lifestyle ato apalaah itu namanya. Yang pasti kaos jadi ciri khas dari lifestyle yang simple. Mesti kadang harganya ga simpel-simpel juga kalo branded.
Kalo gua nyari barang, itu pasti yang di utamakan adalah kualitas dan berkelas. asyiiiik. Itu yang pertama. Yang kedua murah. Naah ini ciri khas banget orang indonesia –ga semua juga sih, biar enak aja nyebutnya-. Makanya kadang kalo milih kaos gua ga simple. Karena susah banget nyari yang model yang gua pengen. Bukan modelnya sih. Tapi harga nya. Model keren, begitu liat harga 200ribu. Mampus lah dompet gua beli kaos segitu. Cari lagi. Makanya gua kalo beli kaos ato beli apapun, di mall ato outlet dan distro-distro gitu paling males kalo ketika gua milih baju, si pelayannya matung berdiri di deket gua dan merhatiin banget gua milih baju, nanya-nanya lah ini itu –ya wajar sih sebenernya- tapi bagi gua itu risih, sumpah dah. Karena seolah-olah dia ngebuat gua buat yakin dan ga bakal ga jadi buat beli barangnya. Jadi gua suka ga enak kalo mau bilang ga jadi beli. Bingung sendiri gua, ‘gimana cara ngomongnya nih kalo misalkan ga jadi’. Tapi paling ga enak itu di distro sih. Karena gua orangnya lebih sering liat-liat barangnya dari pada belinya, kalo distro kan tempat khusus gitu, gada barang lain selain punya dia di tempat itu, beda ama di mall kan. Kalo ga jadi enak bisa ‘ngeloyor’gitu aja. Makanya kadang kalo mau mampir ke distro liat-liat dulu sebelum masuk. Kalo sepi ga jadi.
Nah pernah waktu itu gua beli kaos di online shop. Karena lagi marak-maraknya. Akhirnya gua coba beli barang di Olshop. Adminnya orang bogor dan dia jual kaos-kaos NGO (National Geographic) gitu, yang tentang outdoor outdoor gitu lah. Gua suka banget tuh gambarnya. Akhirnya gua tertarik dan beli. Sekaligus gua beli dua karena harganya 60ribuan. Bahanya spandex. Gua awalnya ga tau bahan spandex itu. Tapi setelah browsing-browsing akhirnya gua tau. Melar-melar gitu deh kalo di tarik. Dan pas gua tanya ademan mana bahannya ama combed 30s. Dia jawab ademan spandex. Orang jualan mana ada sih yang ngejelekin. Yaa gua belum sepenuhnya percaya sih. Karena harganya aja di bawah pasaran harga kaos combed 30s. Ukurannya pun allsize. Ya udah lah gua yakin aja kalo bakal cukup di gua karena allsize.
Ketika barangnya dateng dan gua cek. Agak sedikit aneh sih. Melar-melar ketat gitu. Ngepres banget di badan gua. Gua rasa ini mungkin emang modelnya lah. Gua belum terlalu nyesel disitu. Eh pas udah gua cuci, kaosnya jadi melur kesamping gitu. Dan sangat-sangat cingkrang di perut gua. Yaa sampe pantat bagian atas lah. Intinya sangat cingkrang dari kaos-kaos yang sebelumnya biasa gua pake. Disitulah gua agak menyesal. Pepek, tai. Kecil begini. Melayang pula 120ribu gua. Meski masih layak dipakai. Tapi tetep ada rasa jijik gimana gitu, kalo gua makenya. Soalnya ketat, cingkrang. Ga biasa aja gua make baju kaya gitu. Akhirnya satu kaosnya gua kasih ke kaka gua yang badanya lebih kecil dan satunya masih berkeprikaosi kalo gua pake. Tai bilangnya all size. Ukuran badan gua kan L tapi cingkrang banget. Pengen gua maki-maki adminya, tapi ya udah lah.
Kebegoan ini gua harap ga terjadi sama orang laen dan anda para silent readers. Yaah begitulah idup. What we wish for, not always happen as what we wish for.

Jumat, 11 Maret 2016

Ternyata gua bego part 2


Ini gua lanjutin cerita 'ternyata gua bego'

Bude gua punya jerman study guide dan setiap tahun menerima mahasiswa asing khususnya jerman untuk magang dan mengajar bahasa jerman di lembaganya itu. Dan namanya besteweg reza’s deutschkurs. Naah ceritanya gua excited banget buat ketemu dan ngobrol sama native itu. Dan pada suatu kesempatan gua ke bandung dan ketemu sama rebecca –nama si native tuh-

Sebelumnya gua belum pernah kenalan dan belum pernah ketemu sama native itu –ya jelas belum pernah ketemu sih-. Karena gua katro aja gua pengen banget ketemu ama dia. Karena semasa gua masih belajar, kesempatan gua buat praktekin sprechen itu jarang banget. Gatel mulut gua buat sprechen, karena kebiasaan teori yang gua pake di pare. Ketika belajar bahasa itu kuncinya di praktek. Merujuk pada pribahasa bisa karena terbiasa, sama seperti cinta datang karena telah terbiasa –anjaaas-.
Karena gua belum pernah chat ato apapun sama rebecca, gua pun agak segan buat ngajak kenalan sendiri. Gua minta tolong bilqiz buat ngenalin gua ke dia. Tapi pas bilqiz mau ngenalin, gua lagi tidur. Akhirnya bilqiz cuman bilang kalo dia(bilqiz) punya temen(gua) dan pengen kenalan ama rebecca. Ketika sore datang, gua pengen jalan. ‘waaah ngajak jalan rebecca seru nih, ajak bilqiz juga, kan ada mobil nganggur 
tuh’. Bisik otak gua.

Naaah terus sebelum gua buka pembicaraan, rebecca lagi di kamar dan gua bolak balik 4x buat ngetok pintu dia. karena menurut gua ga enak aja ngetok kamar orang yang belum dikenal terus tiba-tiba ngajak jalan.
Kira-kira begini percakapannya:

“entschuldigung, eeee.. ich bin ffff..fikar. I am friend of bilqiz.” Agak gugup tuh gua disitu.
“ouh bilqiz, ya ya ya ich weis. ***&&@#$!##$(bahasa jerman)” cepet banget tai ngomongnya.
“actually, tonight me and bilqiz gonna go to cafe for drinking a coffe, would you like to join www with me,,, emh www with us”
“ooohhh. Sure, okay. Aber, *&^%$%!@#$$&& ich muss mein kleidung geƤndert. @#$%%^& funf minuten $%#%^#^.” Cuman itu yang gua tangkep, yang intinya dia suruh gua nunggu 5 menit lagi padahal sebenernya gua belum mandi, ah udah gak penting.

Setelah dia bilang okay. Dan abis itu nutup pintu. “yeessss. Yeessss.” Sambil selebrasi kaya pemain bola abis ngegolin. Gila seneng mampus gua. Serasa kaya first date aja gituu. Jonees jonees. Maklum, belum pernah ngajak cewe jalan berdua, eh gak berdua deng.

Padahal gua mau bilang, jangan 5 menit, gua belum mandi. Tapi ya udahlah. Ehhh nyata kan dia cuman ganti baju dan udah siap. Bule ga suka mandi ternyata. Tapi yang gua heran mukanya tetep aja bening. Laah kita mah, pribumi gak mandi ya lecek, kusem. Mandi dulu lah gua. Seharian perjalanan dari Indramayu ke Bandung lecek muka.

“ahh rebecca, i haven’t take a bath yet.”
“ah it’s oke, kein problem”
“and i’ve called bilqi z but she will call me five minute later.”
“#$%^&&^%&. Jemandlich *&^%$#$%^&*. Oh oke oke.”
‘please in english rebecca, aing teu ngarti.’ Teriak gua dalem ati.

Dalam perjalanan gua ke cafe. Bilqiz bilang ga bisa. Akhirnya gua pun cuman jalan berdua ama rebecca. –anjir serasa first date gua, padahal mah rebecca biasa aja-. Ini yang gua suka dari budaya barat. Selalu terbuka buat orang lain untuk berkenalan. karena ga enak aja kali ya buat nolak, kayanya sih.

Tentu sepanjang perjalanan gua ngomong sama dia dalam bahasa inggris, dalam bahasa jerman? emm bakal mukul-mukul pala sampe bonyok gua. karena bakal keliatann banget kebegoan gua. Padahal belum sebulan gua selesai belajar level B1 bahasa Jerman, yaa level yang lumayan untuk orang asing. Tapi materi sprechennya belum melekat keras di otak, jadi agak susah. Ya gitu deh.

Dalam sepanjang gua ngobrol sama rebecca, kita saling mengerti apa yang dibicarakan. Gua ngerti apa yang rebeca omongin dan rebeca juga ngerti apa yang gua omongin –mesti gua rasa dia mikir juga buat nyerna english gua yang agak akward aksennya. Banyak banget ungkapan yang sulit gua translate dalam english yang benar benar bisa dikategorikan dalam bahasa Inggris yang baik dan benar. Yaa meski pada akhirnya dia paham juga.

Banyak hal yang kita bicarakan, dan sepanjang gua ngobrol ama dia jantung gua agak gugup berdebar – anjaaaas-. tapi bukan karena gugup ama cewe ato bule, engga. Lebih karena banyak yang pengen gua omongin tapi bercampur sama rasa seneng, jadi gatau apa yang mau di omongin-. Kit ngobrol tentang refutees yang berjuta-juta dateng ke jerman, ngobrol tentang orang-orang jerman ngedukung jokowi dan orang indonesia disana juga dukung jokowi, tentang pengalaman dia di indonesia, tentang gua dan banyak lah.

Yang ngebuat gua ngerasa bego itu sebenernya. Tai gimana gua bisa kuliah dan sekolah di jerman, kalo english gua aja kaya tai. Dari situ gua sadar ternyata gua telah banyak kehilangan skill english gua. Ga cuman itu, karena gua punya cita-cita gua bakal jadi ilmuwan yang besar yang dibesarkan di eropa, tapi kenyataannya gua kaya gini. Tai, tai, tai. Sebanyak-banyaknya swearing word yang pengen gua ungkapiin ke gua sendiri. Tapi apa karena gua ngobrol sama orang yang udah lulus s1 aja kali ya, gua nganggep seperti ini. Yaa intinya dari situ gua banyak mikir. Ternyata yang gua lakuin selama ini ga ada apa-apanya sama pemuda pemuda eropa. Ini yang ngebuat gua harus lebih keras lagi dalam belajar.

Dua jam 35menit ngopi bareng rebecca ngebuat pemikiran gua jadi lebih luas. Kalo ternyata dunia persaingan global itu emang bener-bener nyata kerasnya. Kata-kata yang selama ini cuman gua denger dari media media. Sekarang gua tau, ternyata gua ga ada apa-apanya. Sampah banget masih. Tapi pernyataan ini bukan gambaran dari keprustasian gua. Tapi justru ini yang ngebuat gua jadi lebih terinspirasi dalam belajar dan merubah pribadi untuk bisa jadi yang lebih baik.
Dan ternyata dia itu udah bisa 4 bahasa asing ketika dia masih sekolah SMA. French,  spanish, russian ,english. Bahasa-bahasa kuat di wilayah eropa.



Ternyata gua bego


Ini bukan suatu tulisan atau pernyataan tentang kedepresian dan keputus-asaan atau perendahan diri. Tapi ini gua buat tulisan memang hanya untuk mengintropeksi diri gua yang sudah melangkah jauh dari apa yang udah diraih , bukan melangkah jauh sih, tapi. “ouhh... ternyata gua ga sepintar yang orang sangka ke gua, dan ternyata gua pun ga sepinter seperti pandangan orang terhadap gua. Yang selama ini memang ato yaa mungkin sebagian nganggep gua pinter, tentu dalam bidang gua. Seperti misal dalam bahasa Inggris. Keilmu sosialan –karena gua anak IPS- seperti cara gua berbicara di depan umum, kek pidato gitu. Ya... kurang lebih seperti itulah.

Jadi gini ceritanya

Sebelum gua lanjut sekolah SMA, gua pergi untuk kursus bahasa Inggris di Pare –suatu desa kecil di Kediri jawa timur yang terdapat banyak tempat kursus bahasa Inggris dan terkenal dengan English village. Gua les di Pare itu selama 1 tahun – ya hampir 1 tahun lah. Ga nyampe 1 tahun sih, 9 bulanan lah. Dan gua di tempat kursusan itu adalah member yang paling termuda, terbocah. Jelas termuda karena pada saat itu masa-masanya anak seumuran gua sekolah- masa-masa sekolah maksudnya-. Dan gua kursus setelah lulus SMP, dalam artian umur gua masih 14th pada saat gua les itu. Di kelas gua kursus jelas gua yang paling muda. Temen-temen yang lain rata-rata udah lulus SMA dan S1, itu yang ngebuat gua dalam belajar lebih cepet merespon pelajaran daripada yang lain. Entah belum gua cari tau apa istilah keilmuwannya. Yang pasti gua termuda dan yang paling cepet merespon pelajaran dan yang paling cepet bisa lah –bisa di bahasakan sepeti itu-. Okay, kurun waktu satu tahun kurang itu pasti gua ngalamin banyak hal yang belum pernah gua alamin di sekolah, bahkan di luar sekolah. Karena ini konteksnya pendidikan non formal. Dan karena memang umur gua juga masih belia untuk bisa bergaul dan belajar di dalam lingkungan seperti itu. Itu ada plus minusnya yang pasti. Cerita tentang pare akan gua lanjutin di judul yang lain. Gua mau nyambungin pengalaman ini ke judul awal ‘ternyata gua itu bego’.
            
Belajar bahasa Inggris selama satu tahun itu tentu membuat gua bisa memahamin bahasa Inggris lebih dari orang yang belajar hanya di sekolah-sekolah aja- harusnya sih gitu- tapi mungkin di sekolah yang bagus-bagus seperti di Jakarta ato Bandung bisa jadi skill english gua sama ato mungkin bisa juga lebih jelek. Dan ketika gua melanjutkan SMA gua, pasti temen-temen gua nganggep kalo gua itu emang jago english. Dan itu menjadi prestige tersendiri bagi gua dan tentu beban juga buat gua. Karena kalo gua gabisa ato ga tau tentang pertanyaan yang mereka lontarkan ke gua tentang english dan gua gabisa, “masa 1tahun di pare ga tau”. Perkataan ‘satu tahun di pare’menjadi beban tersendiri bagi gua. Ya meski itu emang resiko yang harus gua terima unconditionally. Tapi ya bukan gua bemaksud sombong, ya emang saat gua di sekolah skill english gua sedikit lebih mumpuni dari yang paling mumpuni disitu. Ya kadang juga ngefek ke pembawaan gua secara emotional, yang membuat gua kadang merasa sombong. Yaa hanya terkadang. Gua masih menghargai juga guru-guru engish gua di SMA, tapi guru-guru gua di SMA gua juga ngetreat gua lebih cuek dari yang laen, karena nganggepnya gua udah bisa. Tapi itu hanya persoalan biasa lah, ga perlu di bahas lagi.

Oke, kembali ke pembahasan. Ketika predikat yang gua pandang dalam skill english itu baik di mata orang-orang. Ini yang ngebuat gua kadang agak sedikit males ketika belajar english yang level SMA ato yang intermediate lah anggep. Itu jadi males. Karena gua nganggepnya. “ah inimah gua udah bisa”. gua yakin ini sering gua alami. Karena gua membutuhkan level english yang lebih complicated dan constantly. Dalam benak gua, ketika memperlajari pelajaran yang udah dipahamin itu justru membuat skill gua stuck ato mahkan bisa turun –karena sering meremehkan-. Ini yang sering gua alamin ketika SMA.

Predikat good skill gua pada english dipertanyakan ketika gua ga lulus SBMPTN dan ketika gua di tanya gimana soal englishnya, “waduh, susah tai soalnya. Ilmiah banget.” “ko bisa? Katanya kamu udah bisa bahasa Inggris?”
Pertanyaan dan pernyataan seperti ini juga yang pada akhirnya ngebuat gua jadi keliatan bego dan ga seperti yang stereotype anggep ke gua.

Bahkan ada salah satu temen gua, ya gua rasa dia terlalu mengagumi gua. Entah apa yang dia kagumin dari gua, yang pasti gua udah paham dari cara dia bersikap ke gua dan cerita tentang gua ke temen deket gua. Dia nganggep kalo gua itu gila –dalam artian kepinteran, berarti pinter banget. Ya mungkin dia ngebandinginnya sama dia, ya jelas jauh gua lebih cerdas. Bahasa Inggris bisa trus bahasa jerman trus bisa banyak bahasa daerah. Pokonya dia nganggep gua lebih –entah lebih dalam hal apa-. Ini ngebuat gua malu sendiri kadang. Karena gua ga sepinter yang dia pandang. Tapi yang pasti temen gua ini cewe, -ngasih keterangan aja biar ga disangka homo-.


Dan lebih terbukti lagi kebegoan gua ketika gua punya kesempatan ngobrol face to face sama foreigner. Ceritanya berlanjut ke part 2. Terlalu banyak soal.


Rabu, 02 Maret 2016

Aku sadari



Kapan penderitaan layak di sebut penderitaan. ketika memang itu adalah tugas dan kewajiban kita untuk menjalaninya dan ya memang kita harus seperti itu. Maka ketika aku menghindar dari penderitaan, layakah kau sebut aku pengecut? Dan kata-kata lainya yang tidak pantas disandingkan pada seorang pejuang kehidupan.

Kapan keterbatasan itu di sebut keterbatasan? karena memang Tuhan menyuruh kita untuk berjuang atas keterbatasan, bukan menyerah di atas keterbatasan dan pada saat itu pula penderitaan dipertanyakan. Apakah itu penderitaan kalo memang itu yang harus kita perjuangkan? Karena keterbatasan bukan untuk diratapi melainkan untuk dinikmati, karena keterbatasan lah kita mengenal kata berkecukupan bahkan berlebihan yang kadang kita buta atas nikmat, karena kita lupa akan keterbatasan.

Maka, aku hanya mampu berusaha semampuku Ya Tuhan. Setelah itu, terserah padaMu.


Hey pagi



Adakah yang lebih indah dari permunculannya cahayamu ke ubun-ubun langit

Hey malam
Adakah yang lebih hening dari redupnya cahayamu yang menenangkan jiwa-jiwa yang penat, meluluhkan kegundahan, atau malah meletupkan kehasratan birahi.

Hey cinta
Sinarilah aku, agar aku bisa mengiyakan pagi dan malam yang begitu mesra menemani penikmatnya di setiap kemunculannya.

Hey cinta
Aku redup di pagi yang indah ini, aku layu di siang yang cerah ini, aku bisu di sore yang bersahaja, aku pilu di malam yang syahdu.

Hey cinta
Tuhan. Engkau lah Maha Cinta,