Kamis, 26 Januari 2017

Sajak Lama Pria Kesepian



Semua kecemasan yang aku buat sendiri, semua bayang-bayang insomnia kelabu, yang tak jelas apa yang dirasa, semua perasaan gundah mengganggu, semua rindu yang tak sampai, semua tawa yang terbahak, semua senyum yang terbendung dan mengembang. Semua makhluk itu adalah “kamu”.

Aku adalah batrai lowbat yang menggelisahkan mu setiap saat, harap-harap cemas kekasihmu mengkhawatirkanmu, bukan aku. Aku adalah kemacetan kota yang kau maki-maki, karena tak sabar kau temui kekasihmu. Aku adalah setetes tinta yang kau tipe-x. Aku adalah kertas yang kau buang setelah basah kau keningi.

Aku adalah helm yang terlalu besar yang membuat telingamu sakit. Aku adalah angin yang menusuk-nusuk tulangmu, di pagi hari kau beranjak kerja. Aku adalah hujan yang menghentikanmu di halte bis. Aku adalah kubangan air yang kau hindari di pojokan jalanan gang.

Aku adalah semua hal yang kau sebut sedih. Aku adalah lapar yang tak sempat sahur ketika berpuasa. Aku adalah telat yang mengkhawatirkan kelasmu. Aku adalah lipstik yang tak sempat membalut bibirmu. Aku adalah kusam yang kau kesalkan. Aku adalah keringat yang kau kecutkan.
Semua kecemasan yang aku buat sendiri adalah bayang-bayang yang gugup untuk jujur, berharap tetap memberi atau ingin juga meminta. Keraguan yang setiap kali memuncak di rasa kantuk, selalu bisa membuatku terjaga. Dikatakan atau tidak, tidak berpengaruh pada nya. Kau tahu atau tidak, tidak juga berpengaruh bagi nya. Nampaknya bila sudah terbakar, ya tanpa alasan, hanguslah ia.

Perasaan mungkin jadi satu-satunya alasan untuk semua orang bekerja. Seperti sakit, atau cinta. Perasaan selalu saja datang pada hal yang disebut indah. Atau mungkin perasaan bersifat indah? Indah atau sakit, tergantung seberapa luas dada kita melapang. Seperti gelas atau selebar lautan luas. Semua luka adalah indah. Semua derita adalah bahagia. semua bahagia adalah derita, untuk dia atau untuk mereka. Setiap suka adalah nada, mendendang-dendang di tengah hari sekalipun.

Tinta selalu punya cara bagaimana mengobati kekasihnya yang sakit. Derit-derit hati terobati oleh ringkihannya di atas kertas. Desir panas di hati seketika jadi jiwa setiap penulis. Jadi judul di setiap bukunya. Jadi nyawa di setiap kehidupannya.


Di tulis pada 25 Juni 2016

KESEPIAN YANG SUDAH MENJADI DETAK DI JANTUNGNYA

copyright by google
Kesepian yang sudah menjadi detak di jantungnya, tak pernah lagi ia mampu menggubris. Semua kepingan kehidupan yang membuatnya meringis, telah ia peluk erat-erat, “inilah derita yang aku cinta”.

‘Sepi’ adalah musuh bagi semua kaum urban. Mereka tak pernah mau merasa sepi. Meski harus membohongi gengsinya. Tapi baginya ‘sepi’ adalah teman. Yang tak pernah beranjak sebelum ia bergegas menguat. “persetan kau sepi! Tak bisakah kau pergi dan enyah sejenak. Aku pun ingin jadi kaum urban.”

Suka lalu cinta. Meminta lalu di terima. Bahagia lantas tertawa. Sepi tak pernah pergi dari tempatnya. Bersemayam bersama jarum jam. Selalu tahu kapan majikan merasa hampa, yang bahkan tak pernah bahagia. setelah semuanya di dapat? Lantas apa selanjutnya? Bahagia dunia tak akan pernah ada ujungnya. Mungkin itu pesan berharga darinya. Selanjutnya akan sepi juga semuanya. Termasuk yang paling bingar sekalipun.

‘Semua yang kau cari ada pada dirimu.’ Yang tersisa dariku hanyalah sepi. Semua yang ku tahu dalam diriku adalah sepi. Jadi ternyata semua yang ku cari adalah sepi. Semua jerih payah keringat akan berujung pada kata sepi? Huuuft. Maka tak perlu lagi aku bingung apa yang harus aku lakukan. Sepi sudah jadi temanku selamanya.

Ditulis di Bandung pada bulan Juni 2016.


Sesaat ketika aku sadar bahwa yang ada dalam kepala dan seluruh isi hatiku adalah ‘aku sayang kamu’. Tapi nampaknya, kata itu tak perlu dijelaskan. Biar sepi yang menyampaikan. Entah alasannya apa. Hanya saja aku rasa, tak semua hal yang disebut perasaan bisa di definisikan.

Selasa, 24 Januari 2017

KENAPA KITA HARUS KULIAH?



Meskipun semua stick note ini hanya berakhir menjadi sebuah mimpi. Setidaknya gua pernah berusaha sekeras mungkin. Dan bersyukur, sekarang bertengger pada Sastra Indonesia UNS.


Sebagai seorang anak yang tumbuh di tengah-tengah keluarga yang begitu menghargai pendidikan. Pokoknya selagi mampu, harus kuliah. Entah apapun kerjanya nanti (tapi bukan tanpa rencana juga). Itu yang membuat gua selalu terpacu ingin kuliah. Tinggal di kampung dengan arus ekonomi yang lamban, selalu membuat warga-warga kampung berpikir berkali-kali untuk mengambil pendidikan di Perguruan Tinggi. Terlebih PT nya jauh dari kampung. Tapi tidak dikeluarga gua. Karena kuliah dianggap mampu memperluas pergaulan, pengetahuan dan koneksi (meski memang gak selalu begitu adanya).

Tapi bagi gua pribadi. Gua adalah orang yang bisa dibilang suka membaca dan termasuk suka menulis. Sejak SMA, Alhamdulillah gua bisa mengirim tulisan-tulisan gua ke majalah sekolah, ya syukur-syukur ketrima. Lalu semakin kesini gua semakin terpincut dengan dunia tulis-menulis setelah lulus dari SMA. Dengan membaca karya-karya Darwis Tere-Liye, Dee Lestari, Andrea Hirata, Raditya dika, Pidi Baiq, Alitt Susanto dan temen blogger. Membuat gua semakin berani untuk bermimpi menciptakan suatu karya dalam dunia tulis menulis. Dan bukan hanya sekedar bermimpi, mereka (penulis inspirator gua) mampu membuat gua untuk bergerak menuangkan dan mengumpulkan ide untuk membuat suatu tulisan. Yaa meski berawal dari diary sekalipun. Karena menurut gua diary adalah proses latihan seorang penulis untuk terbiasa menuangkan idenya, menjadi lebih gampang pada kertas atau media lainya. Karena siapapun pasti yakin bahwa ide memang sulit ditebak, sulit dituangkan atau bisa juga disebut susah untuk dieksekusi. Maka dari itu, kreatif itu harus dilatih. Dan dalam latihan penuangan kekreatifan penulisan, salah satunya dengan menulis diary. Bener juga tuh. Hal yang besar berawal dari hal yang kecil tetapi dengan cinta yang besar.

Naah, oleh karena itu. Gua begitu sangat-sangat yakin dengan kuliah, gua mampu membuka sedikit demi sedikit gerbang ide, untuk lalu dijadikan sebagai suatu karya. Karya hasil gua sendiri (meski memang berkarya ga harus kuliah). Tapi setidaknya saat ini gua sangat yakin. Kuliah sangat-sangat gua butuhkan. Untuk proses pewujudan karya gua. Yap, satu hal yang gua butuhkan dari kuliah adalah atmosfer kerja keras. Meski memang pada akhirnya atmosfer kerja keras harus kita sendiri yang bangun. Tapi dengan berada di sekeliling orang-orang yang berkecimpung pada ilmu pengetahuan membuat gua semakin terpacu untuk melakukan hal yang sama, yang sesuai passion gua tentunya.

Karena memang gua masih terlalu lemah untuk mencipta atmosfer kerja keras sendirian. Gua masih sangat-sangat lemah untuk hal itu. Begitupula gua tinggal di rumah, tempat yang bagi gua terlalu nyaman untuk mencipta atmosfer itu. Meski memang kenyamanan selalu gua butuhkan untuk atau selama proses penciptaan karya. Tapi di rumah, gua terlalu manja. Maka gua harus keluar, merasakan atmosfer lain yang lebih keras, yang mampu mampu membuat gua jadi lebih berkembang. Meskipun pada akhirnya semua kembali pada diri kita sendiri.
Itu lah salah satu alasan, kenapa gua pengen banget kuliah. Sederhana aja sebenernya.


Ditulis pada 8 April 2016.
Ketika gua sedang berjuang bersama ratusan ribu orang mengejar PTN favoritnya melalui SBMPTN 2016.


Lalu untuk yang tahun ini sedang mengejar PTN, PTS, AKMIL, AKPOL, STAN atau perguruan tinggi lainya. Entah itu yang lulusan 2015, 2016, dan yang paling seger 2017. Semangat lah ya. Bulatkan niat dari sekarang untuk mengejar impian temen-temen, jangan setengah-setengah kalo punya niat. Jangan sampe kandas di tengah jalan. karena apapun usaha yang sudah pernah kita lakukan, pasti akan ada hasilnya, pasti. Meski seringkali gak sejalan dengan apa yang kita harapkan. Beruasaha aja dulu, hasil mah dipikir belakangan. Dan sebisa mungkin temukan alasan temen-temen untuk kuliah. Agar alam bawah sadar temen-temen bisa mengiyakan dan mendukung temen-temen dalam berusaha lebih keras.

Kamis, 12 Januari 2017

Dunia ide, antara aku dan waluyo.


Dunia ide selalu indah dalam kepala, menyegarkan. Namun selalu ada 1001 masalah ketika masuk dalam tahap eksekusi. Ya salah satu caranya adalah mencatatnya agar ide itu tetap menyegarkan. Meski ini bukan suatu motivasi atau saran atau kritik atau berbagai macam rasa kritik yang lainya. Ini cuman coretan di pagi hari sang pemalas yang mencoba untuk sok rajin.
Bangun jam 08:13, itu juga kalo di bangunkan. Kalo tidak? Ya paling agak siangan dikit, jam 11:45. Wow! Ato mungkin ada yang pernah tidur 1x24 jam? Ato lebih? Mungkin rekor muri harus ngasih medali buat dia ya. Ya ya ya, begitulah liburan sang pemalas.
Bangun tidur, mandi, bikin kopi, sarapan, trus............sssssssstttttt.. Ngrokok. Jangan bilang siapa-siapa, soalnya ngrokonya sembunyi-sembunyi. Di depan toko yang kebetulan yang punyanya lagi ke pasar, dan secara tidak sengaja juga yang punya toko adalah nenekku sendiri, yang sudah pasti merupakan ibu dari ibuku.
“Ya trus ibu siapa lagi?”
“loh kan siapa tau ibu dari ibu tetangga kan?”
“iya iya.”
“iiiihhh, gimana sih lu, itu nenek kandung gua. Banyak tanya deh lu kaya wartabok.”
“laaah, wartabok. Wartawan kali ah.”
“wartawan nanya nya berkualitas, kalo lu nanya-nanya nya ga berbobot, bawaannya pengen nabok.”
“oke oke bos.”
“waluyo waluyo.”
“lanjut lagi bos ceritanya!”
“iya ini mau lanjut, lunya jangan banyak omong. Sssttt diem!”

Yaa begitulah percakapan ku dengan waluyo, yang suka rusuh kalo aku lagi nikmatin kopi.
“uyooo..!!!”
“apa bos?”
“ayo ah kita maen gitar lagi!”
“berangkat bos!”
“ngapain berangkat? Disini aja, toko si mbah gada yang nungguin ini.”
“ouh iya lupa.”