copyright by google |
Kesepian yang sudah menjadi detak di jantungnya, tak pernah lagi ia mampu menggubris. Semua kepingan kehidupan yang membuatnya meringis, telah ia peluk erat-erat, “inilah derita yang aku cinta”.
‘Sepi’ adalah musuh bagi semua kaum urban. Mereka tak pernah mau merasa sepi. Meski harus membohongi gengsinya. Tapi baginya ‘sepi’ adalah teman. Yang tak pernah beranjak sebelum ia bergegas menguat. “persetan kau sepi! Tak bisakah kau pergi dan enyah sejenak. Aku pun ingin jadi kaum urban.”
Suka lalu cinta. Meminta lalu di terima. Bahagia
lantas tertawa. Sepi tak pernah pergi dari tempatnya. Bersemayam bersama jarum
jam. Selalu tahu kapan majikan merasa hampa, yang bahkan tak pernah bahagia.
setelah semuanya di dapat? Lantas apa selanjutnya? Bahagia dunia tak akan
pernah ada ujungnya. Mungkin itu pesan berharga darinya. Selanjutnya akan sepi
juga semuanya. Termasuk yang paling bingar sekalipun.
‘Semua yang kau cari ada pada dirimu.’ Yang tersisa
dariku hanyalah sepi. Semua yang ku tahu dalam diriku adalah sepi. Jadi
ternyata semua yang ku cari adalah sepi. Semua jerih payah keringat akan
berujung pada kata sepi? Huuuft. Maka tak perlu lagi aku bingung apa yang harus
aku lakukan. Sepi sudah jadi temanku selamanya.
Ditulis di Bandung pada bulan Juni 2016.
Sesaat ketika aku sadar bahwa yang ada dalam kepala
dan seluruh isi hatiku adalah ‘aku sayang kamu’. Tapi nampaknya, kata itu tak
perlu dijelaskan. Biar sepi yang menyampaikan. Entah alasannya apa. Hanya saja
aku rasa, tak semua hal yang disebut perasaan bisa di definisikan.
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan membaca.