Kamis, 11 Januari 2018

Pengangguran





Oleh: Mahmud Zulfikar

“Kau benar-benar tidak mengerti bagaimana rasanya jadi pengangguran dan ditinggalkan cinta.”

            Hari itu Waryo hendak berangkat kerja dan sedang memanaskan mesin motornya di depan halaman kontrakannya. Ia bekerja di pabrik gula di bilangan daerah Majalengka, Jawa Barat. Bagi lulusan SMP seperti Waryo mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah. Karena kebanyakan pabrik hanya mau menerima karyawan lulusan SMA, entah apa alasannya, dia enggan mencari tahu dan kesal terlebih dulu.
            “Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dicari oleh pabrik-pabrik itu?” Dengusnya kesal.
            Sebab ia sudah melamar ke 17 pabrik dan tidak ada satupun pabrik yang mau menerimanya, terlebih dan terutama dan memang hanya lulusan SMA lah kriteria minimal pabrik-pabrik tersebut.
            “Mereka pikir lulusan SMA lebih cakap dalam bekerja setelah 12 tahun menulis ABCDEFGHIJ? Sial!”
            Dari pabrik ban dalam dan luar, ban tubeless, lalu pabrik kaleng, pabrik plastik, bahkan sampai pabrik garmen yang memproduksi pakaian dalam pria dan wanita saja tetap tidak mau menerima Waryo sebagai karyawannya.
            “Coba kau pikirkan! Bahkan untuk pabrik yang membuat sempak dan kutang saja tidak mau menerimaku? Tuhan... setidak berguna apa aku?”
            Sambil terus melanjutkan pekerjaan yang hampir abadinya sebagai tukang ojek pangkalan di pertigaan Cijurug. Pertigaan paling strategis di daerahnya karena kendaraan umum dari dalam dan luar baik kota maupun provinsi keluar masuk melalui pertigaan Cijurug.
            Pernah sekali ia hampir diterima di pabrik kertas.
            “Hampir saja pabrik pembuat packaging itu menerimaku, tapi dia menolakku hanya karena alasan konyol.”
            Ketika Waryo sedang mengantri untuk diwawancarai, ia tiba-tiba kebelet kencing dan sempat menahan-nahannya karena saking gelisah dan gugupnya untuk pertama kali dalam seumur hidupnya ia dipanggil wawancara kerja. Tapi ia tidak kuat menahan urine keluar dari lubang anusnya. Maka ia pun beranjak dari kursinya dan menanyakan dimana toilet berada. Tidak ada yang tahu. Bahkan seluruh peserta wawancara yang hadir pada hari itu. Maka ia keluar ruangan dan bertanya dimana toilet berada kepada satpam yang berjaga – lebih terlihat seperti tukang pukul karena tidak mengenakan seragam.
            “Mohom maaf mas, toilet kantor ini sedang dibangun dan belum jadi, bahkan klosetnya pun belum dikirim dari toko materialnya.” Dengan nada agak ramah tukang pukul itu memberi jawaban. “Bila mas mau berusaha lebih keras lagi, cobalah jalan ke barat, mas akan menemui Masjid Muallim di samping kantor kecamatan, disitu ada toilet lengkap dengan tempat wudhunya.”
            “Ya, ya. Kira-kira seberapa jauh itu?”
            “Kurang lebih 4 KM mas.”
            “Kau pikir aku Cristiano Ronaldo bisa mencapai jarak sejauh itu dengan berlari sementara urine di anusku mendesak-desak?” jawab Waryo dengan sedikit kesal sambil berlalu pergi.
            Maka dengan tidak sabar ia setengah berlari menuju semak-semak di samping parkiran untuk kencing disana.
            Awalnya dia tidak pernah berpikiran bahwa ulahnya kencing di semak-semak parkiran bisa menyebabkan ia gagal menerima pekerjaan dan gagal mengikuti wawancara.
            “Saudara Waryo Mukajon, silahkan masuk ruang interview.” Panggil petugas.
            “Mohon maaf, Mas Waryo tidak kami beri kesempatan mengikuti interview sekaligus tidak kami terima menjadi karyawan di pabrik kami.”
            “Maksudnya?” jawab Waryo bingung.
            “Maksudnya, silahkan pergi dan keluar dari kantor kami, kami sangat meminta maaf.”
            “Maksudnya, apa maksud bapak dengan sama sekali tidak memberi saya kesempatan?”
            “Mas Waryo telah melanggar peraturan calon karyawan pabrik kertas.co dengan kencing di semak-semak parkiran depan kantor. Sekali lagi mohon silahkan tinggalkan ruangan ini.”
            “Hah?” Waryo hanya bisa tercengang.
            Bagaimana bisa dia ditolak dalam kesempatan wawancara kerja hanya karena kencing sembarangan. Akan kubangun 1.000 toilet di daerahmu jika aku sukses dan kaya nanti. Sial! Tentu saja aku tidak akan kencing sembarangan jika saja di kantormu yang memang terlihat baru itu sudah jadi toiletnya. Lalu kau pikir aku harus lari marathon dulu untuk hanya membuang air kencing, mungkin aku sudah mati terlebih dulu sebelum akhirnya bisa membuang air kencing. Atau – masih sangat kesal – memang itu alasan yang paling halus untuk menolakku karena ijazahku hanya sampai SMP? Sialan. Mungkin aku memang harus masuki SMA dulu. Begitu pikirnya kesal.
            “Mungkin di SMA terdapat pelajaran bagaimana cara menahan kencing. Atau juga bagaimana caranya agar tidak kencing sembarangan.” Dengusnya pada dirinya sendiri.
            Sampai pada kesempatan ketika ia narik ojek dan melihat kertas iklan yang tertempel dengan mengenaskan di badan tiang listrik.
            “Pabrik gula batu dan pasir. Ya intinya pabik gula. Membuka lowongan pekerjaan. Minimal lulusan SMP. Segera kirim surat lamaran kerja ke alamat yang tertera. Jangan lupa di kasih map.” Kurang lebih begitu dibacanya.
            Awalnya dia memang tidak percaya, tidak begitu percaya lebih tepatnya. Tapi apa boleh buat, desakan hidup membuat ia akhirnya benar-benar mengirimkan surat lamaran kerjanya lengkap beserta mapnya, seperti yang disyaratkan pada iklan.
            Sampai pada akhirnya ia diterima di pabrik gula batu dan pasir. Bahkan hingga ia akhirnya ditetapkan sebagai karyawan tetap setelah bekerja dengan baik dan bahkan sangat-sangat baik. Tentu saja gengsi dan gaji Waryo pun berubah berikut status karyawannya berubah.
            “Dengan begini, aku tidak perlu lagi malu-malu untuk mengunjungi rumah Warni dan mungkin suatu hari aku akan berani melamarnya.” Ungkap Waryo pada Tejo di pangkalan ojeknya.
            Tentu Waryo sudah meninggalkan profesinya sebagai tukang ojek. Hanya saja dia memang sesekali mampir mengobrol dengan rekan-rekan ojeknya dulu. Bahkan jikalau kerja libur, dia masih saja dimintai tolong untuk menarik ojek.
            “Ya syukurlah, aku ikut senang mendengarnya. Semoga kau beruntung.” Ujar Tejo.
            “Doamu seperti hadiah minuman seribuan Jo. ‘semoga beruntung’ eh ‘coba lagi semoga beruntung’. Sudah waktunya kau mendoakanku ‘kau pasti beruntung’.”
            “Hanya Tuhan yang mampu mengukur keberhasilan suatu doa Yo.”
            “Oke-oke.”
            Sampai datang suatu pagi dimana ia dan ratusan karyawan lainya mengalami PHK. Entah karena pemilik pabrik sedang iseng atau memang karena pabrik sedang melakukan restrukturisasi. Agar menjaga keeksistensian pabrik di dunia pergulaan batu dan pasir. Begitu katanya. Atau entalah, karena Waryo pun tak pusing apa alasan pabriknya memPHKnya, dia lebih pusing karena ia sudah berjanji pada Warni bahwa minggu depan ia akan melamarnya. Lebih tepatnya ia berjanji pada dirinya sendiri untuk pergi melamar Warni setelah gajinya turun minggu depan.
            Kenyataan memang senyata kentut. Dapat dicium dan dirasakan sekaligus begitu menusuk dan menyakitkan dan mengejutkan. Sekalipun ia memperoleh cukup uang dari Uang Pesangon dan Uang Penggantian Hak untuk membeli cincin kawin dan biaya lamarannya pada Warni kekasihnya. Tapi kenyataan lebih rumit dari itu.
            “Kau tahu aku mencintaimu Warni. Dan tidak lama lagi aku akan melamarmu.”begitu ucapnya dalam hati. Karena bagaimanapun ia belum cukup berani menjanjikan apapun pada Warni, sekalipun itu sebagai tanda kepastiannya bahwa ia mencintai Warni.
            “Waryo. Kau sebaiknya tidak perlu lama berbasa-basi jika kau mencintaiku. Datanglah ke rumahku dan lakukan sesuatu. Karena aku harap kau mengerti, ibuku Hj. Saroh tidak suka anak gadisnya memiliki hubungan yang tidak jelas dengan laki-laki manapun, bahkan ia melarangku.” Begitu tulis Warni pada surat yang ia kirim tepat diterima di pagi itu, di pagi yang sama ketika Waryo menerima kabar bahwa ia di PHK.
            Dengan sedikit tergesa-gesa ia hendak membalas surat Warni. Bahkan dia sempat berpikiran untuk datang ke rumahnya langsung dan menjelaskan apa yang terjadi langsung pada Warni yang dicintainya. Tapi ia tidak cukup berpikir sekali dua kali tiga kali bahkan lima kali sekalipun. Ia harus berpikir hingga puluhan kali dan akhirnya memutuskan untuk datang langsung ke rumahnya. Tentu saja, dengan surat balasan di sakunya. Jaga-jaga andai saja tidak bisa berkata banyak untuk menjelaskan.
            “Nak Waryo. Kau tahu Warni adalah anak gadisku yang pertama, aku punya 3 anak gadis setelahnya. Kau pasti mengerti bahwa Warni pastilah jadi panutan bagi adek-adeknya. Jadi saya mohon maaf sekali lagi jika aku harus menolak lamaranmu pada Warni anak sulungku. Karena pasti kau mengerti, aku tidak ingin Warni dilihat adik-adiknya dengan dia mau dinikahi oleh pria yang tidak mempunyai pekerjaan.” Begitu balas Hj. Saroh ibu Warni. Ketika Waryo mengatakan hendak melamar anak sulungnya.
            “Baiklah.”
            Begitu balas Waryo. Hanya itu. karena hanya itu jawaban yang terbaik, yang ia mampu dan yang ia punya untuk menjawab. Tanpa salam dan pamit, ia berlalu pergi meninggalkan rumah Hj. Saroh.
            Sebenarnya Waryo ingin menjawab banyak pada Hj. Saroh atas penolakan lamarannya. Seperti: aku punya cukup uang untuk membuat usaha sendiri semacam warung kopi misalnya. Atau: aku punya cukup uang untuk membeli gerobak cilok dan berjualan di sekolah-sekolah. Atau – yang terakhir ini muncul karena ia terlalu emosi atas kepenatannya – aku punya cukup uang untuk membakar rumahmu Hj. Saroh. Begitu kesal Waryo dalam hatinya. Karena bagaimanapun ia sungguh kesal dan sangat kecewa dan sangat sakit hati mendengar jawaban Hj. Saroh yang terdengar terlalu materialistik. Tidakkah kau seharusnya memberiku kesempatan seperti: berusahalah dengan lebih giat sampai kau mendapat pekerjaan, lalu kau bisa melamar anak sulungku. Dan sungguh, sungguh kau tidak perlu menambahkan kata maaf jika kau menjawab seperti itu wahai Ibu Hajah Saroh mantan calon menantuku.
            Pikiran itu hampir seharian, semingguan, sebulanan, bahkan setahunan terus mengganggu pikiran Waryo.
            “Sekarang kau sudah benar-benar mengerti, bagaimana rasanya jadi pengangguran dan ditinggalkan cinta?”

WARYO, 10 JAN 2018.

1 komentar:

Terima kasih sudah berkenan membaca.