Oleh: Mahmud Zulfikar
“Kau
benar-benar tidak mengerti bagaimana rasanya jadi pengangguran dan ditinggalkan
cinta.”
Hari itu Waryo hendak berangkat
kerja dan sedang memanaskan mesin motornya di depan halaman kontrakannya. Ia
bekerja di pabrik gula di bilangan daerah Majalengka, Jawa Barat. Bagi lulusan
SMP seperti Waryo mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah. Karena kebanyakan
pabrik hanya mau menerima karyawan lulusan SMA, entah apa alasannya, dia enggan
mencari tahu dan kesal terlebih dulu.
“Aku benar-benar tidak mengerti apa
yang dicari oleh pabrik-pabrik itu?” Dengusnya kesal.
Sebab ia sudah melamar ke 17 pabrik
dan tidak ada satupun pabrik yang mau menerimanya, terlebih dan terutama dan
memang hanya lulusan SMA lah kriteria minimal pabrik-pabrik tersebut.
“Mereka pikir lulusan SMA lebih
cakap dalam bekerja setelah 12 tahun menulis ABCDEFGHIJ? Sial!”
Dari pabrik ban dalam dan luar, ban tubeless, lalu pabrik kaleng, pabrik
plastik, bahkan sampai pabrik garmen yang memproduksi pakaian dalam pria dan
wanita saja tetap tidak mau menerima Waryo sebagai karyawannya.
“Coba kau pikirkan! Bahkan untuk
pabrik yang membuat sempak dan kutang saja tidak mau menerimaku? Tuhan...
setidak berguna apa aku?”
Sambil terus melanjutkan pekerjaan
yang hampir abadinya sebagai tukang ojek pangkalan di pertigaan Cijurug. Pertigaan
paling strategis di daerahnya karena kendaraan umum dari dalam dan luar baik
kota maupun provinsi keluar masuk melalui pertigaan Cijurug.
Pernah sekali ia hampir diterima di
pabrik kertas.
“Hampir saja pabrik pembuat packaging itu menerimaku, tapi dia
menolakku hanya karena alasan konyol.”
Ketika Waryo sedang mengantri untuk
diwawancarai, ia tiba-tiba kebelet kencing dan sempat menahan-nahannya karena
saking gelisah dan gugupnya untuk pertama kali dalam seumur hidupnya ia
dipanggil wawancara kerja. Tapi ia tidak kuat menahan urine keluar dari lubang
anusnya. Maka ia pun beranjak dari kursinya dan menanyakan dimana toilet
berada. Tidak ada yang tahu. Bahkan seluruh peserta wawancara yang hadir pada
hari itu. Maka ia keluar ruangan dan bertanya dimana toilet berada kepada
satpam yang berjaga – lebih terlihat seperti tukang pukul karena tidak
mengenakan seragam.
“Mohom maaf mas, toilet kantor ini
sedang dibangun dan belum jadi, bahkan klosetnya pun belum dikirim dari toko
materialnya.” Dengan nada agak ramah tukang pukul itu memberi jawaban. “Bila
mas mau berusaha lebih keras lagi, cobalah jalan ke barat, mas akan menemui Masjid
Muallim di samping kantor kecamatan, disitu ada toilet lengkap dengan tempat
wudhunya.”
“Ya, ya. Kira-kira seberapa jauh
itu?”
“Kurang lebih 4 KM mas.”
“Kau pikir aku Cristiano Ronaldo
bisa mencapai jarak sejauh itu dengan berlari sementara urine di anusku
mendesak-desak?” jawab Waryo dengan sedikit kesal sambil berlalu pergi.
Maka dengan tidak sabar ia setengah
berlari menuju semak-semak di samping parkiran untuk kencing disana.
Awalnya dia tidak pernah berpikiran
bahwa ulahnya kencing di semak-semak parkiran bisa menyebabkan ia gagal
menerima pekerjaan dan gagal mengikuti wawancara.
“Saudara Waryo Mukajon, silahkan
masuk ruang interview.” Panggil petugas.
“Mohon maaf, Mas Waryo tidak kami
beri kesempatan mengikuti interview sekaligus tidak kami terima menjadi
karyawan di pabrik kami.”
“Maksudnya?” jawab Waryo bingung.
“Maksudnya, silahkan pergi dan
keluar dari kantor kami, kami sangat meminta maaf.”
“Maksudnya, apa maksud bapak dengan
sama sekali tidak memberi saya kesempatan?”
“Mas Waryo telah melanggar peraturan
calon karyawan pabrik kertas.co dengan kencing di semak-semak parkiran depan
kantor. Sekali lagi mohon silahkan tinggalkan ruangan ini.”
“Hah?” Waryo hanya bisa tercengang.
Bagaimana bisa dia ditolak dalam
kesempatan wawancara kerja hanya karena kencing sembarangan. Akan kubangun
1.000 toilet di daerahmu jika aku sukses dan kaya nanti. Sial! Tentu saja aku
tidak akan kencing sembarangan jika saja di kantormu yang memang terlihat baru
itu sudah jadi toiletnya. Lalu kau pikir aku harus lari marathon dulu untuk
hanya membuang air kencing, mungkin aku sudah mati terlebih dulu sebelum
akhirnya bisa membuang air kencing. Atau – masih sangat kesal – memang itu
alasan yang paling halus untuk menolakku karena ijazahku hanya sampai SMP? Sialan.
Mungkin aku memang harus masuki SMA dulu. Begitu pikirnya kesal.
“Mungkin di SMA terdapat pelajaran
bagaimana cara menahan kencing. Atau juga bagaimana caranya agar tidak kencing
sembarangan.” Dengusnya pada dirinya sendiri.
Sampai pada kesempatan ketika ia
narik ojek dan melihat kertas iklan yang tertempel dengan mengenaskan di badan
tiang listrik.
“Pabrik gula batu dan pasir. Ya intinya
pabik gula. Membuka lowongan pekerjaan. Minimal lulusan SMP. Segera kirim surat
lamaran kerja ke alamat yang tertera. Jangan lupa di kasih map.” Kurang lebih
begitu dibacanya.
Awalnya dia memang tidak percaya,
tidak begitu percaya lebih tepatnya. Tapi apa boleh buat, desakan hidup membuat
ia akhirnya benar-benar mengirimkan surat lamaran kerjanya lengkap beserta
mapnya, seperti yang disyaratkan pada iklan.
Sampai pada akhirnya ia diterima di
pabrik gula batu dan pasir. Bahkan hingga ia akhirnya ditetapkan sebagai
karyawan tetap setelah bekerja dengan baik dan bahkan sangat-sangat baik. Tentu
saja gengsi dan gaji Waryo pun berubah berikut status karyawannya berubah.
“Dengan begini, aku tidak perlu lagi
malu-malu untuk mengunjungi rumah Warni dan mungkin suatu hari aku akan berani
melamarnya.” Ungkap Waryo pada Tejo di pangkalan ojeknya.
Tentu Waryo sudah meninggalkan
profesinya sebagai tukang ojek. Hanya saja dia memang sesekali mampir mengobrol
dengan rekan-rekan ojeknya dulu. Bahkan jikalau kerja libur, dia masih saja
dimintai tolong untuk menarik ojek.
“Ya syukurlah, aku ikut senang
mendengarnya. Semoga kau beruntung.” Ujar Tejo.
“Doamu seperti hadiah minuman
seribuan Jo. ‘semoga beruntung’ eh ‘coba lagi semoga beruntung’. Sudah waktunya
kau mendoakanku ‘kau pasti beruntung’.”
“Hanya Tuhan yang mampu mengukur
keberhasilan suatu doa Yo.”
“Oke-oke.”
Sampai datang suatu pagi dimana ia
dan ratusan karyawan lainya mengalami PHK. Entah karena pemilik pabrik sedang
iseng atau memang karena pabrik sedang melakukan restrukturisasi. Agar menjaga
keeksistensian pabrik di dunia pergulaan batu dan pasir. Begitu katanya. Atau entalah,
karena Waryo pun tak pusing apa alasan pabriknya memPHKnya, dia lebih pusing
karena ia sudah berjanji pada Warni bahwa minggu depan ia akan melamarnya. Lebih
tepatnya ia berjanji pada dirinya sendiri untuk pergi melamar Warni setelah
gajinya turun minggu depan.
Kenyataan memang senyata kentut. Dapat
dicium dan dirasakan sekaligus begitu menusuk dan menyakitkan dan mengejutkan. Sekalipun
ia memperoleh cukup uang dari Uang Pesangon dan Uang Penggantian Hak untuk
membeli cincin kawin dan biaya lamarannya pada Warni kekasihnya. Tapi kenyataan
lebih rumit dari itu.
“Kau tahu aku mencintaimu Warni. Dan
tidak lama lagi aku akan melamarmu.”begitu ucapnya dalam hati. Karena bagaimanapun
ia belum cukup berani menjanjikan apapun pada Warni, sekalipun itu sebagai
tanda kepastiannya bahwa ia mencintai Warni.
“Waryo. Kau sebaiknya tidak perlu lama
berbasa-basi jika kau mencintaiku. Datanglah ke rumahku dan lakukan sesuatu. Karena
aku harap kau mengerti, ibuku Hj. Saroh tidak suka anak gadisnya memiliki
hubungan yang tidak jelas dengan laki-laki manapun, bahkan ia melarangku.” Begitu tulis Warni pada surat yang ia kirim tepat
diterima di pagi itu, di pagi yang sama ketika Waryo menerima kabar bahwa ia di
PHK.
Dengan sedikit tergesa-gesa ia
hendak membalas surat Warni. Bahkan dia sempat berpikiran untuk datang ke
rumahnya langsung dan menjelaskan apa yang terjadi langsung pada Warni yang
dicintainya. Tapi ia tidak cukup berpikir sekali dua kali tiga kali bahkan lima
kali sekalipun. Ia harus berpikir hingga puluhan kali dan akhirnya memutuskan
untuk datang langsung ke rumahnya. Tentu saja, dengan surat balasan di sakunya.
Jaga-jaga andai saja tidak bisa berkata banyak untuk menjelaskan.
“Nak Waryo. Kau tahu Warni adalah
anak gadisku yang pertama, aku punya 3 anak gadis setelahnya. Kau pasti
mengerti bahwa Warni pastilah jadi panutan bagi adek-adeknya. Jadi saya mohon
maaf sekali lagi jika aku harus menolak lamaranmu pada Warni anak sulungku. Karena
pasti kau mengerti, aku tidak ingin Warni dilihat adik-adiknya dengan dia mau
dinikahi oleh pria yang tidak mempunyai pekerjaan.” Begitu balas Hj. Saroh ibu
Warni. Ketika Waryo mengatakan hendak melamar anak sulungnya.
“Baiklah.”
Begitu balas Waryo. Hanya itu. karena
hanya itu jawaban yang terbaik, yang ia mampu dan yang ia punya untuk menjawab.
Tanpa salam dan pamit, ia berlalu pergi meninggalkan rumah Hj. Saroh.
Sebenarnya Waryo ingin menjawab
banyak pada Hj. Saroh atas penolakan lamarannya. Seperti: aku punya cukup uang
untuk membuat usaha sendiri semacam warung kopi misalnya. Atau: aku punya cukup
uang untuk membeli gerobak cilok dan berjualan di sekolah-sekolah. Atau – yang
terakhir ini muncul karena ia terlalu emosi atas kepenatannya – aku punya cukup
uang untuk membakar rumahmu Hj. Saroh. Begitu kesal Waryo dalam hatinya. Karena
bagaimanapun ia sungguh kesal dan sangat kecewa dan sangat sakit hati mendengar
jawaban Hj. Saroh yang terdengar terlalu materialistik. Tidakkah kau seharusnya
memberiku kesempatan seperti: berusahalah dengan lebih giat sampai kau mendapat
pekerjaan, lalu kau bisa melamar anak sulungku. Dan sungguh, sungguh kau tidak
perlu menambahkan kata maaf jika kau menjawab seperti itu wahai Ibu Hajah Saroh
mantan calon menantuku.
Pikiran itu hampir seharian,
semingguan, sebulanan, bahkan setahunan terus mengganggu pikiran Waryo.
“Sekarang kau sudah benar-benar
mengerti, bagaimana rasanya jadi pengangguran dan ditinggalkan cinta?”
WARYO,
10 JAN 2018.