Senin, 20 Februari 2017

Tak perlu kemegahan untuk memulai apa itu perjalanan.


di ambil di pagi hari sebelum berangkat kuliah oleh zulfikar


Tak perlu kemegahan untuk memulai apa itu perjalanan. Tinggalkan semua gengsi, suatu hidup berawal dari suatu harapan dan impian. Harapan yang selalu membawa kita hari ke hari, impian yang membuat kita selalu memacu diri. Dalam semua kesederhanaan, bersabarlah, Tuhan takan pernah tertidur bagi hamba-Nya yang selalu mencoba dan berusaha. Orang yang bermaksiat saja Tuhan takan pernah lupa, bagaimana Ia bisa lupa bagi hamba-Nya yang taat dan selalu istiqomah.

Hiduplah seperti adanya kamu, tak perlulah memulai sesuatu yang besar itu dengan sesuatu yang besar pula, lakukanlah dengan sesuatu yang kecil namun dengan cinta yang besar.
Semua itu memang berawal dari mimpi, mimpi yang akan memacu kita untuk melesat atau tersesat. Jangan pernah takut miskin. Tuhan mampu menciptakan 7 lapis langit dan ribuan planet di tata surya. Maka apakah Tuhan tidak mampu membuat nasi untuk kau makan atau uang untuk kau menuntut ilmu? Itu semua tak ada arti bagi-Nya. Pahamilah bahwa itu mengartikan kita untuk berusaha dan istiqomah.

Akuilah apa dirinya kamu, miskin dan kaya mungkin terkadang menjadi patokan bagi kita yang hendak berjuang memperoleh kesejahteraan. Namun percayalah, Tuhan takan pernah salah dalam membuat takdir. Lantas kita takluk akan takdir? Bila Tuhan selalu mengasihi dan tak pernah salah dalam menentukan. Bukan! Bukan begitu! Jangan pernah sekali-kali kau berdamai dengan takdir bila belum meneteskan keringat dalam usahamu. Katakan pada takdir, “berdamailah denganku.”

Ulasan novel “Critical Eleven” karya Ika Natassa

copyright from google


Novel yang sangat berkelas. Itu kata pertama yang tepat untuk mengapresiasi novel ini. Dalam pandangan saya sebagai orang yang menyukai novel dan sejenisnya. Novel ini memiliki diksi dan gaya bahasa yang bisa disebut “not really fiction.” Seperti saya membaca suatu curhatan atau kisah nyata yang dituliskan oleh seseorang atas kejadian atau kisah dalam hidupnya. Meskipun tidak bisa dibenarkan juga. Tapi, serius, diksi dan alur ceritanya terimajinasi dengan sangat rapi sehingga tergambar seperti nyata, menurut saya. Ya orang saya yang baca.

Oke, kita coba usik sedikit ke isi novelnya.

Penokohan yang begitu solid, dalam artian. Tokohnya saling mendukung kedudukan tokoh lain, dan penggambaran tokoh satu dan yang lain begitu kuat dan berbobot.

Alur cerita maju mundur yang begitu implisit pun menambah titel “kelas” untuk novel ini.

Dalam kebanyakan novel yang pernah saya baca sebelumnya. Penulisan dalam satu bab novel yang membahas tentang kejadian masa lampau atau masa depan yang membuat alur cerita menjadi mundur atau maju, biasanya perubahan alur itu ditandai dengan tanda bintang (*) atau tanda lain, terkadang ada pula yang menulisnya dengan italic. Tapi dalam novel Critical Eleven tidak. Penulisan perubahan alur dari maju ke mundur langsung di tumpang tindih tanpa tanda apapun, namun tetap bisa dimengerti jalan ceritanya. Dan ini juga menjadi kelebihan tersendiri bagi novel ini.

Pilihan kata yang tidak teralalu fiksi dan bentuk cerita yang terlihat hampir nyata membuat novel ini pantas untuk disebut novel berkelas dan berkualitas. Dari segi alur, penokohan, settingnya. Unsur extrinsik dan intrinsiknya lah ya. Detail-detail yang sangat sangat jelas dan nyata, meskipun memang tidak semua pembaca bisa mengerti detail setting yang dituliskan oleh Ika Natassa, karena saking detailnya. Tapi ini juga menguatkan titel “kelas” untuk novel ini.

Ya begitulah sedikit ulasan dari saya. Ga nyesel deh beli novelnya. Mantap.



Kamis, 09 Februari 2017

Sepenggal cerita musafir jalanan



copyrigt by google

Cerita seorang musafir jalanan yang tersangkut dalam ambisius mimpinya, menemukan gerbang mimpinya di ujung perbatasan Surakarta- Karanganyar di pojokan jalan Ir. Sutami.

Penuh dengan ideologi, isi kepalanya menjadi terbelit-belit. Merasa sok pinter dengan kegoblokannya. Merasa lebih dengan keterbatasannya. Mencoba mencari kebahagiaan dalam kesederhanaan. Dan semoga ini tidak terlalu puitis.

Tak bisa ia menemukan senyum dalam Solo GrandMall atau Paragon Mall, tak bisa ia temui tawa dalam gedung bioskop XXI yang tiketnya seharga 7 mangkok Soto kampus. Tak pernah bisa ia temukan kesenangan oleh orang yang sering menyebut-nyebutnya. Wajar jika ia tak punyai teman. Siapa yang mau berteman dengan kesepian.

Anak muda yang kepengen dibilang muda. Merasa tidak tertarik dengan dunia kasih sayang yang kiwir-kiwir. Hubungan dua orang muda mudi yang begitu menghangatkan hati dan birahi. Merasa di awang-awang oleh imaji ciptaanya sendiri. Perasaan yang terjadi dimana-mana, membuat ia benci pada mulut yang terlalu jujur dan terburu-buru seperti di kejar hantu. Padahal UKT saja masih ragu-ragu.

Entah pada siapa ia bicara. Musafir jalanan yang sedang kebingungan mencari apa yang harus dicari oleh pemuda umur 20 tahun yang sedang menempuh kuliahnya di semester 2. Selain kegiatan positif, hemat dan tidak menghabiskan uang sekaligus tetap menyenangkan untuk pemuda umur 20 tahun.

Tak kelar kelarnya ia marah pada dirinya sendiri, akan kecerobohan kecil yang sering dilakoninya. Seperti, lupa pin ATM yang baru dibikinnya 2 bulan yang lalu, salah mencetak KHS, lupa cuci tangan dan gosok gigi sebelum tidur. Dan sisanya ia habiskan untuk membunuh bosan dengan dunianya, Solo GrandMall bukanlah pilihan. Meski tiket bioskop seharga 7 mangkok soto masih ada dalam isi kepalanya.

Musafir jalanan yang senang hidup dengan idealismenya, tak pernah peduli pada orang yang menyebutnya lebay. Biarkan, idealis satu satunya kemewahan yang aku punya, selain uang, kesenangan dan pacaran. Begitu katanya.

Tapi isi kepalanya tak bisa menengok kedalam isi hatinya. Perasaan tak bisa di nalar seperti akal, begitu katanya. Itu juga yang membuat orang tidak sadar pernah menjadi goblok karena perasaan nya sendiri. Juga termasuk dia. Perasaan yang tidak bisa dinalar membuat akal kadang tak tahu diri.

Namun dalam doanya, pernah muncul satu nama. Satu nama. Suatu perasaan yang tak bisa di nalar, yang membuat akal tak tahu diri.

"Ya Tuhan, semoga kau jadikan Zahra sebagai ...."
Hilang suaranya, tak percaya diri. Karena ini bukan cerita zainuddin dan hayati.

"Zahra, semoga Tuhan......"

Bersambung.