|
copyrigt by google |
Cerita seorang musafir jalanan yang tersangkut dalam ambisius
mimpinya, menemukan gerbang mimpinya di ujung perbatasan Surakarta- Karanganyar
di pojokan jalan Ir. Sutami.
Penuh dengan
ideologi, isi kepalanya menjadi terbelit-belit. Merasa sok pinter dengan
kegoblokannya. Merasa lebih dengan keterbatasannya. Mencoba mencari kebahagiaan
dalam kesederhanaan. Dan semoga ini tidak terlalu puitis.
Tak bisa ia
menemukan senyum dalam Solo GrandMall atau Paragon Mall, tak bisa ia temui tawa
dalam gedung bioskop XXI yang tiketnya seharga 7 mangkok Soto kampus. Tak
pernah bisa ia temukan kesenangan oleh orang yang sering menyebut-nyebutnya.
Wajar jika ia tak punyai teman. Siapa yang mau berteman dengan kesepian.
Anak muda yang
kepengen dibilang muda. Merasa tidak tertarik dengan dunia kasih sayang yang
kiwir-kiwir. Hubungan dua orang muda mudi yang begitu menghangatkan hati dan
birahi. Merasa di awang-awang oleh imaji ciptaanya sendiri. Perasaan yang
terjadi dimana-mana, membuat ia benci pada mulut yang terlalu jujur dan
terburu-buru seperti di kejar hantu. Padahal UKT saja masih ragu-ragu.
Entah pada siapa
ia bicara. Musafir jalanan yang sedang kebingungan mencari apa yang harus
dicari oleh pemuda umur 20 tahun yang sedang menempuh kuliahnya di semester 2.
Selain kegiatan positif, hemat dan tidak menghabiskan uang sekaligus tetap
menyenangkan untuk pemuda umur 20 tahun.
Tak kelar kelarnya
ia marah pada dirinya sendiri, akan kecerobohan kecil yang sering dilakoninya. Seperti,
lupa pin ATM yang baru dibikinnya 2 bulan yang lalu, salah mencetak KHS, lupa cuci
tangan dan gosok gigi sebelum tidur. Dan sisanya ia habiskan untuk membunuh
bosan dengan dunianya, Solo GrandMall bukanlah pilihan. Meski tiket bioskop
seharga 7 mangkok soto masih ada dalam isi kepalanya.
Musafir jalanan
yang senang hidup dengan idealismenya, tak pernah peduli pada orang yang
menyebutnya lebay. Biarkan, idealis satu satunya kemewahan yang aku punya,
selain uang, kesenangan dan pacaran. Begitu katanya.
Tapi isi kepalanya
tak bisa menengok kedalam isi hatinya. Perasaan tak bisa di nalar seperti akal,
begitu katanya. Itu juga yang membuat orang tidak sadar pernah menjadi goblok
karena perasaan nya sendiri. Juga termasuk dia. Perasaan yang tidak bisa
dinalar membuat akal kadang tak tahu diri.
Namun dalam
doanya, pernah muncul satu nama. Satu nama. Suatu perasaan yang tak bisa di
nalar, yang membuat akal tak tahu diri.
"Ya Tuhan, semoga kau jadikan Zahra sebagai ...."
Hilang suaranya,
tak percaya diri. Karena ini bukan cerita zainuddin dan hayati.
"Zahra, semoga Tuhan......"
Bersambung.