Senin, 15 Juli 2019

Melihat Kapitalisme Bekerja



Warungkata - Datanglah ke Jakarta. Kota tersibuk se-Indonesia dan salah satu kota dengan perputaran arus modal tertinggi se-Asia Tenggara.

Jangan pernah membenci kapitalisme. Seperti kata Foucalt "Mengubah relasi lingkungan sosial merupakan perjuangan melawan sakit mental".

Dan membenci kapitalisme, adalah perjuangan melawan sakit mental. Lihat pakaian yang kamu kenakan? Makanan yang kamu makan? Alas kaki yang kamu injakan? Kendaraan yang kamu polusikan? Hingga kemaluan yang kamu amankan. Semua berdarah kapitalisme.

Tumbuh dewasa, terserap daya kapitalisme. Kita akan hidup pada dua sisi pedang yang sama tajam: Diperdayakan atau memberdayakan. Karena memberdayakan juga artinya memperdayakan, iya kan?

Menginjak remaja, bertambah tanggungan di usia muda, hingga menuju umur senja. Keharusan bertahan hidup adalah mata rantai evolusi manusia. Mulai dari tradisi berburu dan meramu. Kjokenmoddinger. Bercocok tanam. Hingga tradisi kedai kopi dan tahu bulat merebak ke seantero jagat. Manusia tidak bisa lepas dari kodrat: bekerja.

Bukan bermaksud konservatif dan meneriakan slogan sosialis primitif. Hanya mencoba menggambarkan rasanya menikmati kehidupan kota (Jakarta) yang masif. Sambil menggeser-geser gawai pintar dengan latar pemandangan kumuh bersanding dengan bangunan termutakhir abad ini. Sangat kontradiktif.

Dalam rangkulan mesra industrialisasi, aku meramal, selesai wisuda, aku akan (atau mungkin harus) melamar kerja kemari dan kesana.

Ramalan atas kegugupanku dalam menghadapi fresh graduate sindrom telah mengantarku pada Jakarta. Ketika ada kesempatan Kuliah Magang Mahasiswa (KMM) maka aku dengan mantap memilih Jakarta sebagai destinasi magang. Tujuannya satu: mengenal kejamnya dunia kerja. Yah, mungkin aja.

Jadi, jika saja kehidupan ini menjebakku untuk mengharuskan kerja di Jakarta. Persiapanku tidak dimulai dari angka nol. Dan misi itu tercapai. Hasilnya: aku sangat gugup. Terutama dalam perjalanan menuju kantor.

Kebiadaban yang Paling Biadab

Di Kota yang masuk predikat 4 kota dengan pencemaran udara terburuk di dunia setelah Dubai, New Delhi, dan Santiago, bisa kan kamu bayangkan bagaimana panasnya udara, bersatu padu dengan panasnya kepala. Huft. Gunung Antartika bisa saja meleleh kalo dibawa jin ifrit ke sini.

Di dalam ruangan dingin banget, full ac. Di luar ruangan panas banget, full polusi. Kaya keluar kulkas terus masuk microwave.

Marx pernah cerita kalo kapitalisme akan membawa manusia pada keterasingan. Yang dimaksud Marx dengan keterasingan adalah ketika orang itu bekerja, dia bekerja bukan untuk sebenar-benarnya bekerja. Tapi hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang lain, namun semua itu harus terpenuhi dengan bekerja. Ya semi terpaksa lah mungkin maksud Marx. Demi penghidupan.

Hal ini saya lihat di Jakarta -sangat jelas terlihat. Mungkin tidak semua orang mencintai pekerjaannya. Tapi kebiasaan -yang kemudian dibaca kebiadaban- kehidupan Jabodetabek (secara lebih luas) yang sering memusingkan -tersirat di jalanan- harus mereka siasati menjadi kebiasaan agar kebidupan tetap berlanjut. Demi mencari penghidupan.

Siap menjadi manusia pencari kerja, wahai calon sarjana?

Minggu, 07 Juli 2019

Surat yang Tidak Perlu Diantar*

*sebuah cerpen


"Dan aku sekarang telah pergi jauh. Meninggalkanmu, meninggalkan suratku."

Seharusnya memang surat ini tidak pernah aku antar. Aku terlampau lugu dalam menyatakan cinta, dan terlampau cupu untuk menyampaikan padamu, dan terlampau kaku bila kutuliskan surat ini untukmu, dan ini akan jadi lucu, lucu yang memalukanku.

Tapi, surat ini terlanjur kukirim. Entah hal apa yang membuat aku tergerak. Kau harusnya paham kapan kau merasa nirlogika di saat-saat seperti ini. Tertulis aku mengagumi dan mencoba mencintaimu. Kau membacanya sambil tersenyum-senyum. Kau bilang aku becanda menulisnya. Kujawab aku serius. Kamu jawab tak percaya, kerasukan sinetron apa kamu, begitu katamu. Aku diam. Diam-diam menahan senyum, sambil menyesal telah menjadi orang yang mudah bercanda. 

Lalu aku kembali menulis. Kali ini aku tidak bisa menahan laju pena dan jantungku berdegup saling cepat. Kamu seharusnya tau apa rasanya, Nona. Rasanya jantung ini ingin melompat-lompat dan pena ini hanya ingin terus menulis. Menulis sesuatu yang tidak dimiliki bahasa. Menulis sesuatu yang tidak dimengerti logika.

Tapi kali ini aku lebih memilih untuk menyimpannya. Aku lebih suka mendengar degup jantung yang tak karuan dan kunikmati setiap malam sendirian di kamar. Surat itu semacam terapi denyut detak. Ah betapa. (Kau tidak akan mengerti rasanya bila belum jatuh cinta. Jangan ngenyek dan sebut aku menye-menye. Biarkan cinta bekerja).

Kamu membaca suratku yang kedua. Dengan tidak sengaja. Kau diam-diam membuka buku catatanku. Tidak sopan! Kau membacanya dengan penuh rasa penasaran dan jantung yang tidak karu-karuan. Kau tersenyum, manis sekali, rasanya hatiku cair, hangat, dan mendesir, dan menenteramkan sekaligus membuat jantung tidak karu-karuan. Jangan berpikir kotor loh! Ini semacam desiran hati yang begitu khas dan hangat. Kamu harusnya pernah merasakan ini, Nona, aku yakin.

Aku agaknya menyesal menulis surat itu di sembarang tempat, meski itu masih di catatanku. Menyesal karena kau bisa menjangkaunya. Entah, mengapa aku merasa menyesal. Nirlogika. Karena sekali kau tau, aku merasa berdosa bila apa yang aku tulis tidak sesuai dengan apa yang akan aku lakukan, semacam perasaan khawatir akan ketidaktahuan. Aku merasa aku lebih jujur pada catatanku, ketimbang kepada ucapanku sendiri. Harusnya kalian paham apa yang kumaksud. 

Surat itu akhirnya kau baca. Kau tersenyum, lebih manis dari sebelumnya. Aku menjadi lebih canggung dari sebelumnya, di depanmu. Perasan mak deg di jantung itu sangat terasa. Meskipun pada akhirnya kita menemukan topik pembicaraan. Kau berbicara soal film. Aku berbicara soal keaktoran artis dalam film. Mengapa bisa secair ini? mengapa bisa semengalir ini. Brengsek, aku hampir tidak bisa tidur semalaman mengingat momen-momen itu. Dasar melankolis.

Kau mahasiswa yang cukup aktif dalam beberapa kegiatan kampus. Bahkan terlampau jauh lebih sibuk ketimbang diriku yang setelah kelar kuliah pengennya leha-leha. Kegiatan bakti sosial, perayaan hari pahlawan, aksi solidaritas, dan banyak semacamnya. Kau begitu lincah di sana. Dan satu hal yang ku suka dari mu, kejujuran. Wajah-wajah cahaya dalam potret digital terpajang di wajah maya mu. Dan kau sempat menulis beberapa tulisan di blog mu. Sering kubacai, dan aku menyukainya, sangat otentik. Sekalipun teknik menulismu sederhana dan bilang bahwa itu hanyalah tulisan formalitas, tapi kesederhanaan itu membawa ku pada sebuah rasa kagum: Kau begitu tulus Nona. Entah pada apa ketulusanmu. Hanya saja, kata “tulus” itu muncul begitu saja.

Di suatu malam, kita bertemu. Di hadapan panggung teater kita berbicara banyak hal. Tentang kesibukan mu, tentang ke sok sibukanku. Kegiatannya di DPM dan kesibukan ku di teater. Aku pemerhati kondisi sosial, sesekali, sering kubukai kanal berita online dan media-media alternatif semacam Mojok.co dan Geo Times. Maksudnya, agar aku terlihat pandai mencari topik pembicaraan –agar aku bisa menyeimbangi pembicaraannya, makanya aku sok rajin membaca. Aku mengkritisi keaktifannya di sana. Dan sedikit menyinyir. Kamu tersindir. Aku suka melihat wajahmu saat merasa tersindir.

Kau pandai membaca puisi. Kedalaman suara dan batinmu membuat banyak orang tersentuh. Aku suka kedalaman suaramu.

Kau pandai membaca puisi. Aku (merasa) pandai menulis puisi. Kita sama-sama pandai dalam hal puisi. Kau juga tahu apa buku dan pengarang yang aku suka. Tapi aku tidak pernah tahu bacaan yang kamu suka dan hanya menebak-nebak kau menyukai Murakami, dan ternyata benar. Tapi, ketepatan tebakan dan kesamaan kepandaain tidak bisa membuat kita bertahan. Aku. Aku tidak bisa bertahan. Aku ingin menemu kenali ruang sepi diriku. Tanpa cerita mu, tanpa tawa, senyum. Tanpa mu. Aku merasa terasing. Dan keterasingan itu tidak bisa aku terjemahkan. Aku ingin pergi.

Aku mengecap kesedihan yang begitu mendalam. Seakan aku merasa ada sesuatu yang hilang dariku. Entah. Rasa itu serupa ruangan ber-AC tanpa perabotan. Seperti ruang steril tanpa suara tanpa gangguan. Hanya dinding, lantai putih, dengung AC, dan cahaya lampu. Semuanya putih berpendaran. Penyesalan itu menuntun ku pada hari yang tak tentu. Emosi ku mudah meluap. Bicaraku mudah meninggi. Keberadaanku di keramaian sering membuat kepalaku mudah pening. 

Nona, pagi ini aku mendatangi panggung teater tempat kita bercengkrama dulu. Bahkan kita pernah bertengkar hebat di sini. Kamu menangis. Dan aku baru mengerti, jika hati wanita se-emosional itu, atau entah aku menyebutnya apa, kau menangis pada sesuatu yang aku pikir aku tidak akan menangis bila di posisimu. 

Aku mencoba mengingatnya dengan baik. Aku masih mengingatnya. Kau tersenyum, setelah marah hebat, karena alasan yang kadang tak mudah kumengerti. Aku tak sengaja menjawab pertanyaanmu dengan nada setengah tinggi, tentu saja itu bukan karena aku marah, itu karena dialek ku yang begitu. Kamu tetap diam. Ngambek. Diam. Cemberut. Dasar ngambekan.

Saat itu kita dalam perjalanan menuju stasiun, kau mengantarku. Di stasiun, aku beri kamu hadiah. Mainan burung gantung yang bisa berputar seakan terbang, dan mengeluarkan bunyi suara burung, elang. Dan kutulis di kepala burung itu “Selamat mengudara Nuha”. Kau penyiar yang ramah.

Sesaat setelah kuberi barang itu (aku tak ingin menyebutnya kado), kamu tersenyum, mukamu memerah, dasar, kaya bocah, aku suka melihat wajahmu lamat-lamat saat-saat seperti ini. Duh.

Dan aku sekarang telah pergi jauh. Meninggalkanmu, meninggalkan suratku. Entah seperti apa suratku saat ini. masih kah bisa kau baca dengan utuh. Atau telah kusut terkena lelehan air matamu. Nona, betapa senyummu tetap manis. Ketulusanmu tetap harmonis. Betatapun sungguh aku merasa tak adil meninggalkanmu dengan cara begini. Betatapun juga aku tak ingin membuatmu menangis. Tapi aku harus apa. Aku harus pergi, Nona. Cita-cita ku yang utopis tidak bisa membawamu untuk tetap denganku. Bohong. Itu semua bohong, kenapa, kenapa, begitu suaramu, yang kudengar di ujung telepon.

Betapa aku ingin untuk tetap mencintaimu Nona, tapi aku tak bisa. Betapa aku ingin tetap dicintaimu Nona, tapi aku tak bisa. Betapa aku hanya ingin menyesal, mengapa kita harus pada kisah yang seperti ini. betapa dan betapa. Satu hal yang mungkin harus kau tahu. Aku tidak pernah menyesal pernah menyayangimu. Aku tidak pernah menyesal kau pernah ada. sekalipun aku telah dan akan terus melangkah jauh. Kau tetaplah Nona. Kau tetap hidup di waktu dan buku-buku catatanku. Atas segala peristiwa dan waktu. Terima kasih Nona. Semoga kau bisa cepat "semoga".



Rabu, 03 Juli 2019

Melihat Dunia yang Lebih Luas


WarungKata - Sedikit membaca, dan merasa banyak tahu: adalah penyakit yang harus segera disudahi. Bila tidak segera disudahi, kita akan berpikir -apriori- kalau kita tenggelam dalam arus dunia, tapi sesungguhnya kita hanya terjebak oleh pikiran kita sendiri.

Benar kata Cak Nun. Musuh kita adalah kesempitan dan kedangkalan berpikir.

Beranjaklah dari eksklusifitas menuju inklusifitas.

Empiris speak louder than teoritis. Kesesuaian teori dengan lapangan memang selalu mengalami gesekan yang nyata.

Bila kita tidak bisa beradaptasi dengan cepat. Kita tahu apa akibatnya. Berilah diri kita waktu untuk "beraklimatisasi" dengan lingkungan.

Terus belajar. Belajar terus.

Sekali waktu kita memang harus mengapresiasi diri atas proses yang telah kita raih. Tapi jangan berbangga diri di luar kontrol. Atau. Atau kita akan terjebak oleh ilusi kita sendiri.

Teruslah bertumbuh. Jangan batasi diri kita.

Sampai bertemu di pelabuhan

Jumat, 01 Februari 2019

Di Manakah Kaum Islam Radikal Berpihak di Pilpres 2019?

Copy right from Google

Tulisan ini sebagai salah satu bentuk respon atas Debat Capres & Cawapres 2019 jilid 1 yang diselenggarakan pada tanggal 17 Januari 2019 silam. Tulisan ini hanya ingin sedikit menyoroti isu terorisme yang menjadi salah satu tema debat capres & cawapres 2019.

Ketika pertanyaan tentang terorisme dilontarkan kepada paslon 1 dan 2, masing-masing paslon menjawab dengan gayanya masing-masing. Paslon 2 menjawab dengan kata kunci ekonomi, (apapun isunya, isu ekonomi adalah pemicu pokok permasalahan). Sedangkan paslon 1 yang terlihat kurang kompak dalam porsi berbicara antara Jokowi dan Ma’ruf Amin, ketika topik tentang terorisme, akhirnya Pa Kiai angkat bicara, huft akhirnya.

Pertanyaan pertama diberikan kepada paslon 1 Jokowi-Ma’ruf.

Pemberantasan terhadap terorisme seringkali berbenturan dengan isu HAM. Bagaimana strategi anda agar pemberantasan terorisme bisa benar-benar dijalankan tanpa ada persepsi dari masyarakat tentang terjadinya pelanggaran HAM?

Dengan gayanya yang khas, Pak Kiai Ma’ruf menjawab dengan tenang dan santai. Pak Kiai menjawab bahwa terorisme adalah tindak kejahatan, MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa terorisme bukanlah jihad, terorisme adalah tindakan perusakan, oleh karena itu haram dilakukan. Pelakunya harus dihukum dengan keras dan berat. Langkah konkretnya adalah mensinergikan pencegahan dan penindakan dengan menggunakan pendekatan yang humanis. Menggandeng ormas-ormas –khususnya keagamaan– untuk melakukan pencegahan terorisme dengan cara deradikalisasi.

Lalu Prabowo menanggapi Pak Kiai bahwa terorisme sering kali dikirim dari luar, pelakunya menyamar seolah-olah dia itu orang Islam. Dia berpendapat bahwa teroris ini ada kemungkinan di dukung dan bekerja oleh dan untuk orang asing. Dia juga menolak stigmatisasi teroris selalu kepada orang Islam.

Pertanyaan kedua untuk paslon 02 Prabowo-Sandi.

Radikalisme dan terorisme sudah menjadi ancaman, oleh karena itu dibutuhkan langkah pencegahan dan deradikalisasi. Hal ini bukan hanya bagi individu yang sudah terpapar paham terorisme dan keluarganya. Tetapi juga lingkungan yang menjadi ladang subur berkembangnya paham ini. Apa strategi anda untuk menjalankan pencegahan dan deradikalisasi yang efektif?

Pak Prabowo menjawab bahwa banyak teroris yang merupakan penyusupan dari luar, teroris dari dalam negeri muncul sebagai akibat dari rasa ketidakadilan, rasa keputusasaan, karena posisi itulah mereka bisa terkena paham radikal. Prabowo-Sandi lebih menekankan kepada penguatan investasi besar-besaran di bidang pendidikan, kesehatan, peningkatan ekonomi (khususnya rakyat paling bawah), penguatan pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, dan berusaha menghilangkan suasana hidup putus asa karena ketidakmampuan ekonomi, dalam mencegah paham terorisme. Lalu Sandi menambahkan, mereka akan melakukan program-program kontra radikalisasi pada masyarakat luas, dan menganalisis pemetaan masyarakat miskin –yang rentang terkena ajaran terorisme– agar tidak terkena paham radikal.

Lalu Pak Kiai menanggapi argumen paslon 2. Pak Kiai sangat menekankan kepada persepsi “apa yang membuat ia menjadi radikal?” Bila penyebabnya adalah faktor paham keagamaanya yang menyimpang, kita luruskan. Bila penyebabnya faktor ekonomi, kita berikan lapangan pekerjaan.

Isu terorisme tidak hanya menjadi isu nasional, ini sudah menjadi isu trans-nasional. Masalah terorisme bukanlah masalah agama, melainkan masalah politik kekuasaan yang mengatasnamakan isu agama. Oleh karena itu, masalah agama selalu menjadi kendaraan yang di mobilisasi oleh kaum radikal untuk memperoleh pembenaran atas pergerakan poilitiknya. Dan agama yang selalu jadi tunggangan itu adalah Islam.

Pemikiran terorisme dipicu oleh pemahaman radikal. Pemahaman radikal berawal dari ajaran radikal yang menolak ukhuwah (perdamaian), hobinya mengkafir-kafirkan orang yang berbeda pemahaman, menolak intelektualitas, cenderung menolak pendapat berbeda pemahaman, meneriakan Islam dengan lantang namun memecah belah ukhuwah islamiyah. Semua ciri-ciri ini terdapat pada aliran Islam bernama Salafi Wahabi dan berbagai macam bentukannya.

Salafi Wahabi ini tidak hanya jadi masalah di Indonesia, aliran ini di musuhi oleh banyak ulama di berbagai belahan dunia. Beberapa konflik yang berhasil dikompori oleh mereka di Indonesia –bahkan menjadi isu nasional– adalah konflik sunni-syiah (puncaknya pada tahun 2013, dimana MUI pusat mengeluarkan fatwa bahwa Syiah sesat, setelah diselidiki ternyata MUI ditunggangi banyak orang wahabi), lalu sampai pada konflik yang terbaru dan masih bergaung sampai sekarang: khilafah (negara islam).

Salafi Wahabi ini memiliki pengkaderan dan pergerakan yang ajip. Untuk memperoleh suara dari masyarakat mereka mengaku sebagai kaum Ahlussunah wal jamaah (Aswaja) dan menduduki (pengurus DKM) masjid-masjid –masjid warga NU sekalipun. Karena suara mereka telah lama ditolak oleh masyarakat, akhirnya mereka merubah arah gerakan.

Ciri-ciri paling mudah untuk mendiagnosis kaum wahabi sangatlah mudah. Mereka sangat buta dengan kefanatismean golongannya, mengutamakan golongannya dan mengkafirkan golongan lain (termasuk agama non-Islam), menyangkut pautkan isu agama dengan permasalahan sosial dan politik –seperti pandangan yang seakan-akan mengiyakan bahwa hanya orang Islam lah yang paling benar dan yang paling layak.

Jadi, perlu teman-teman ketahui langkah-langkah wahabi dalam berdakwah. Karena mereka sekilas tampak sama dengan kaum Ahlussunah. Dengan tulisan yang sangat terbatas ini, semoga teman-teman bisa memahami bagaimana caranya menyerap ilmu Islam dan memahaminya secara utuh, dan jangan dulu mengkafir-kafirkan golongan lain yang berbeda pendapat dengan golongan yang anda pahami saat ini. Maqam kafir mengkafirkan hanya diduduki oleh Allah SWT.

Lalu di manakah Kaum Islam Radikal ini Berpihak?

Di Indonesia Islam radikal memang beragam bentuknya. Saya menduga kuat, kaum Islam radikal tidak tinggal diam setelah Jokowi berhasil membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). HTI hanyalah salah satu Ormas radikal yang berhasil ditumpas. Penghuninya masih ada dan terus hidup. Kaum Islam radikal ini tidak tinggal diam menerima kenyataan pergerakannya dilumpuhkan oleh pemerintah.

Dalam memahami isu terorisme. Jokowi & Ma’ruf Amin memiliki pemahaman yang lebih mumpuni dibanding Prabowo-Sandi. Dalam pemerintahan Jokowi-JK, HTI berhasil di hapus dari Ormas resmi Indonesia. Karena HTI adalah salah satu tempat pengkaderan kaum Islam radikal. Keberadaannya mengancam persatuan bangsa dan keutuhan NKRI. Ini bukan ucapan retoris, silakan anda pelajari sendiri.

Melihat tanggapan Prabowo-Sandi tentang terorisme, saya menaruh premis kuat kaum Islam radikal berada pada pihak Prabowo-Sandi. Karena Prabowo-Sandi belum benar-benar memahami di mana dan dari mana paham terorisme ini tumbuh dan berkembang biak. Pokok utama permasalahan terorisme bukanlah pada masalah ekonomi. Tetapi pada pemahaman Islam yang menyimpang.

Kaum Islam radikal berada pada pihak Prabowo-Sandi untuk mencoba bangkit dari keterpurukan pada masa pemerintahan Jokowi-JK.

Di akhir paragraf ini, saya bukan bermaksud untuk membesarkan nama Jokowi-Ma’ruf Amin. Bukan timses, bukan juga buzzer. Saya hanya mencoba membaca pemahaman dua paslon capres-cawapres Pemilu 2019 dengan pemahaman saya yang sempit. Dan inilah analisis yang bisa saya sampaikan kepada anda sekalian pembaca Warung Kata yang budiman. Jangan lupa nyoblos April nanti ya!

Salam damai.
Penjaga Warung Kata

Minggu, 20 Mei 2018

'Menerima' Adalah Belajar Tingkat Tertinggi

*Dariku untuk Teater Tesa pada pementasan Rumoh Geudong


Nerimo adalah hal yang paling kita butuhkan saat ini, dan sampai saat yang tidak ditentukan


Dalam konteks pertahanan diri, kita selalu berusaha mati-matian dalam membela diri, mempertahankan diri, melindungi diri dari gangguan apapun yang terjadi baik dari dalam maupun dari luar diri. Tetapi, apakah menurutmu “menerima” adalah salah satu materi dalam pertahanan diri? Apakah kau setuju bila justru menerima adalah nilai tertinggi dari pelajaran pertahanan diri? Mari kita bicara.

Begini: aku belajar banyak hal dari karya sastra dan karya seni. Karya sastra karena aku kuliah di Sastra Indonesia, karya seni karena aku bergabung di kelompok teater, kedua komponen yang aku pelajari itu mengantarkanku pada sebuah pelajaran yang paling berharga, yaitu menerima. Menerima bahwa aku, kita, kami semua adalah sama-sama sedang belajar. Termasuk belajar menerima. Dan kau benar, menerima, aku akui adalah pelajaran yang paling sulit, tapi bukan tidak mungkin dilakukan dan bukan tidak mungkin dikuasai.

Sejatinya menerima itu berada di tengah-tengah antara percaya diri dan merendah diri. Menerima berada di tengah-tengah antara sombong dan pengecut. Menerima berada di tengah-tengah antara sadar dan alam bawah sadar. Menerima bersifat netral. Penetralisir paling manjur dan harus kita miliki.

Dalam lingkup keilmiahan, karya sastra dan karya seni yang baik selalu membutuhkan kritik yang baik. Bahkan, konon, karya sastra yang baik selalu beriringan dengan kritik sastra yang baik. Maka dalam pementasan Rumoh Geudong ini kita benar-benar butuh kritik yang baik bukan? Dan kita telah melalui hal itu. Aku rasa, dari yang sudah-sudah, menerima kritik bukanlah hal yang benar-benar mudah bila kita tidak memasukannya dalam konteks belajar atau setidaknya mau belajar.

Dalam kadar menerima kita akan mengetahui seberapa kuat kekuatan kita dalam hal pertahanan diri.

Belajar kepada apapun dan kepada siapapun.