Kamis, 08 Februari 2018

5 Hal Yang Tidak Boleh Dilakukan Jika Kamu Adalah Mahasiswa Sastra, Versi Warung Kata.





 

1. Beli Buku (terutama karya sastra) Bajakan

Bayangin aja. Butuh berapa cangkir kopi si penulis buat menulis satu paragraf, satu halaman, satu lembar, satu puisi, satu cerpen, satu nove? Butuh berapa kopi? Berapa hayoo? Kecuali kamu beli buku bajakan trus ngasih kopi ke pengarang 5 kodi gitu ya, its okay its okay. No problemo. Itu yang becanda. Yang serius ini:

Menurut data yang saya ambil dari kompasiana.com dalam tulisan berjudul Mengintip Hitung-hitungan Royalti Penulis Buku oleh Abu Fathan. Besaran standar royalti yang diterima dari penerbit adalah 10% (per eksemplar) dari harga buku, sekalipun kebijakan di setiap penerbit itu berbeda-beda. Ada pula penerbit yang memberi 15 %. Dan royalti bersih ini adalah harga jual buku yang sudah dikurangi biaya marketing 55 %.

Royalti ini diberikan secara berkala, umumnya setiap enam bulan sekali. Begitu kata Pak Abu Fathan.
Langsung masuk pada cerita saja ya. Seorang penulis menulis buku seharga Rp 50.000 dan dicetak pertama kali sejumlah 5000 eksemplar. Kalau royaltinya 10%, maka upah yang diterima penulis adalah Rp. 50.000 x 10 %(besaran royalti) = Rp. 5.000 per eksemplar. Lalu dikalikan 5000 eksemplar (jumlah cetak) maka hasilnya adalah Rp. 25.000.000. dengan catatan semua eksemplar terjual habis. Syukur-syukur bisa cetak ulang lagi. Tapi menunggu waktu cetak ulang itu tidaklah sebentar. Bisa saja di tahun berikutnya baru bisa cetak ulang. Maka bisa dikalkulasikan penulis hanya mendapat kurang lebih Rp. 2.000.000 per bulan. Gimana, pusing itung-itungannya. Gini aja nih simpelnya.

Dari royalti sebesar 10%, ambilah contoh kita membeli novel seharga Rp. 50.000 Maka keuntungan yang di dapet dari seorang penulis hanyalah Rp. 5.000, Goceng bro goceng! Makan di angkringan aja gak kenyang goceng mah. Ya begitu kira-kira perhitungan simpelnya. Bayangin kalau kamu beli buku bajakan. Dapet untung dari mana penulis brow? Lu nulis makalah tanpa copas aja susah kan? Gimana nulis buku?! Dan lu beli bukunya bajakan!

2. Beli Buku (pegangan) Kuliah Asli.

Merdekalah mahasiswa dengan segala argumentasinya, ye kan? Sekarang gini aja deh, buku kuliah atau sebut aja buku pegangan kuliah. Memang sangatlah penting, karena materi-materi kuliah ada di dalamnya. Apalagi ada beberapa dosen mewajibkan untuk memiliki buku pegangan kuliah. Tapi, ada tapinya nih. Dosen juga tidak sering untuk menyuruh mahasiswanya memfoto copy. Jadi ya udah, foto copy aja.

Ya selagi kamu ada rezeki, daripada beli buku kuliah asli, mending beli novel ato cerpen ato essay atau apalah yang menyangkut sastra dan semacamnya. Buku pegangan kuliah mah fc aja, gapapa kok, selagi gak ketahuan sama pengarangnya. Atau mungkin pengarang juga mafhum kita mahasiswa. Wkwkwk.

3. Malas Membaca

Dari sekian banyak (gak juga sih) pengalaman saya menjadi mahasiswa sastra mendengar kata-kata yang pertama kali keluar dari orang setelah mendengar saya kuliah di sastra adalah: “Ouh puisi-puisi gitu ya?”. “Ouh jadi guru ya?” Ya ya ya. Saya akan jadi guru dan saya akan menulis puisi, setidaknya untuk diri saya dan keluarga saya. Diluar itu semua. Sastra erat kaitannya dengan dunia literasi. Sekalipun orang yang masuk sastra tidak ada jaminan menjadi pegiat literasi atau simpelnya, mahasiswa sastra tidak diarahkan menjadi penulis profesional. Objek penelitian sastra pun sangat erat kaitannya dengan dunia bacaan.

Sebenarnya membaca tidak hanya tugas mahasiswa sastra, tapi tugas semua mahasiswa bahkan semua kalangan masyarakat. Tapi mahasiswa sastra seharusnya bisa jadi pelopor gerakan ayo membaca.

Jadi kalo lu ngaku anak sastra dan lu males baca. Ngopi aja ngopi!

4. Pelit Beli Buku

Memang tidak semua orang suka membaca buku, bahkan mahasiswa sastra sekalipun. Apalagi beli ye kan. Tapi sist and brow, saya pribadi, merasa malu jika mengaku mahasiswa sastra tapi tidak memiliki koleksi buku-buku sastra. Atau ya minimal pernah baca lah. Koleksi buku-buku sastra adalah bentuk investasi tersendiri bagi saya, dan merupakan sedikit kebanggaan.
Kita beli kuota internet minimal 50-60 ribu perbulan. Ya seharga lah sama buku. Ayo sisihkan sedikit buat beli buku. Apalagi pas ada diskonan. Waaah “mata bukuan”.

5. Pelit Berbagi Ilmu

Pernah denger cerita dari hadist yang mengatakan ilmu itu tidak akan berkurang jika dibagikan, malah justru bertambah. Berbeda dengan harta, harta dibagikan berkurang. Nah kurang lebih begitu. Ketika kita sudah banyak membaca baik buku ataupun media lainya, sekalipun itu sastra ataupun nonsastra. Tetapi dari membaca, saya yakin, interteks pasti muncul di kepala kita. Sesederhana apapun interteks itu, tuliskan dan bagikan. Sederhana kan? Jangan sampai kita sudah banyak membaca tapi tidak dibagikan. Ilmu kita tidak akan bertambah atau kalau boleh saya meminjam istilah PMII itu “onani intelektual”, yang bisa di artikan pintar sendiri dan gak bagi-bagi. Cukup silver queen lah yang gak rela bagi-bagi.

Tapi bagaimanapun, membangun budaya literasi bukan karena menyoal kita mahasiswa sastra. Bangunlah budaya literasi karena tanggung jawab peradaban, tanggung jawa sosial, dan mahasiswa harus berada di garda terdepan dalam membangun peradaban. MERDEKA! HIDUP MAHASISWA! HIDUP MAHASISWA SASTRA!

Ayolah brow ngopi dulu. Bokep bokep bae!