1. Beli Buku (terutama karya sastra) Bajakan
Bayangin aja. Butuh berapa cangkir kopi si penulis buat menulis satu
paragraf, satu halaman, satu lembar, satu puisi, satu cerpen, satu nove? Butuh
berapa kopi? Berapa hayoo? Kecuali kamu beli buku bajakan trus ngasih kopi ke
pengarang 5 kodi gitu ya, its okay its okay. No problemo. Itu yang becanda.
Yang serius ini:
Menurut data yang saya ambil dari kompasiana.com dalam tulisan berjudul Mengintip Hitung-hitungan Royalti Penulis
Buku oleh Abu Fathan. Besaran standar royalti yang diterima dari penerbit
adalah 10% (per eksemplar) dari harga buku, sekalipun kebijakan di setiap
penerbit itu berbeda-beda. Ada pula penerbit yang memberi 15 %. Dan royalti bersih
ini adalah harga jual buku yang sudah dikurangi biaya marketing 55 %.
Royalti ini diberikan secara berkala, umumnya setiap enam bulan sekali. Begitu
kata Pak Abu Fathan.
Langsung masuk pada cerita saja ya. Seorang penulis menulis buku seharga
Rp 50.000 dan dicetak pertama kali sejumlah 5000 eksemplar. Kalau royaltinya
10%, maka upah yang diterima penulis adalah Rp. 50.000 x 10 %(besaran royalti)
= Rp. 5.000 per eksemplar. Lalu dikalikan 5000 eksemplar (jumlah cetak) maka
hasilnya adalah Rp. 25.000.000. dengan catatan semua eksemplar terjual habis. Syukur-syukur
bisa cetak ulang lagi. Tapi menunggu waktu cetak ulang itu tidaklah sebentar. Bisa
saja di tahun berikutnya baru bisa cetak ulang. Maka bisa dikalkulasikan
penulis hanya mendapat kurang lebih Rp. 2.000.000 per bulan. Gimana, pusing
itung-itungannya. Gini aja nih simpelnya.
Dari royalti sebesar 10%, ambilah contoh kita membeli novel seharga Rp. 50.000
Maka keuntungan yang di dapet dari seorang penulis hanyalah Rp. 5.000, Goceng bro goceng! Makan di angkringan aja gak kenyang goceng mah. Ya begitu kira-kira perhitungan simpelnya. Bayangin kalau
kamu beli buku bajakan. Dapet untung dari mana penulis brow? Lu nulis makalah
tanpa copas aja susah kan? Gimana nulis
buku?! Dan lu beli bukunya bajakan!
2. Beli Buku (pegangan) Kuliah Asli.
Merdekalah mahasiswa dengan segala
argumentasinya, ye kan? Sekarang gini aja deh, buku kuliah atau sebut aja buku
pegangan kuliah. Memang sangatlah penting, karena materi-materi kuliah ada di
dalamnya. Apalagi ada beberapa dosen mewajibkan untuk memiliki buku pegangan
kuliah. Tapi, ada tapinya nih. Dosen juga tidak sering untuk menyuruh
mahasiswanya memfoto copy. Jadi ya udah, foto copy aja.
Ya selagi kamu ada rezeki, daripada beli buku kuliah asli, mending beli
novel ato cerpen ato essay atau apalah yang menyangkut sastra dan semacamnya.
Buku pegangan kuliah mah fc aja, gapapa kok, selagi gak ketahuan sama
pengarangnya. Atau mungkin pengarang juga mafhum kita mahasiswa. Wkwkwk.
3. Malas Membaca
Dari sekian banyak (gak juga sih) pengalaman saya menjadi mahasiswa
sastra mendengar kata-kata yang pertama kali keluar dari orang setelah
mendengar saya kuliah di sastra adalah: “Ouh puisi-puisi gitu ya?”. “Ouh jadi
guru ya?” Ya ya ya. Saya akan jadi guru dan saya akan menulis puisi, setidaknya
untuk diri saya dan keluarga saya. Diluar itu semua. Sastra erat kaitannya
dengan dunia literasi. Sekalipun orang yang masuk sastra tidak ada jaminan
menjadi pegiat literasi atau simpelnya, mahasiswa sastra tidak diarahkan
menjadi penulis profesional. Objek penelitian sastra pun sangat erat kaitannya
dengan dunia bacaan.
Sebenarnya membaca tidak hanya tugas mahasiswa sastra, tapi tugas semua
mahasiswa bahkan semua kalangan masyarakat. Tapi mahasiswa sastra seharusnya
bisa jadi pelopor gerakan ayo membaca.
Jadi kalo lu ngaku anak sastra dan lu males baca. Ngopi aja ngopi!
4. Pelit Beli Buku
Memang tidak semua orang suka membaca buku, bahkan mahasiswa sastra
sekalipun. Apalagi beli ye kan. Tapi sist and brow, saya pribadi, merasa malu
jika mengaku mahasiswa sastra tapi tidak memiliki koleksi buku-buku sastra. Atau
ya minimal pernah baca lah. Koleksi buku-buku sastra adalah bentuk investasi
tersendiri bagi saya, dan merupakan sedikit kebanggaan.
Kita beli kuota internet minimal 50-60 ribu perbulan. Ya seharga lah sama
buku. Ayo sisihkan sedikit buat beli buku. Apalagi pas ada diskonan. Waaah “mata
bukuan”.
5. Pelit Berbagi Ilmu
Pernah denger cerita dari hadist yang mengatakan ilmu itu tidak akan berkurang
jika dibagikan, malah justru bertambah. Berbeda dengan harta, harta dibagikan
berkurang. Nah kurang lebih begitu. Ketika kita sudah banyak membaca baik buku
ataupun media lainya, sekalipun itu sastra ataupun nonsastra. Tetapi dari
membaca, saya yakin, interteks pasti muncul di kepala kita. Sesederhana apapun
interteks itu, tuliskan dan bagikan. Sederhana kan? Jangan sampai kita sudah
banyak membaca tapi tidak dibagikan. Ilmu kita tidak akan bertambah atau kalau
boleh saya meminjam istilah PMII itu “onani intelektual”, yang bisa di artikan pintar
sendiri dan gak bagi-bagi. Cukup silver queen lah yang gak rela bagi-bagi.
Tapi bagaimanapun, membangun budaya literasi bukan karena menyoal kita
mahasiswa sastra. Bangunlah budaya literasi karena tanggung jawab peradaban,
tanggung jawa sosial, dan mahasiswa harus berada di garda terdepan dalam
membangun peradaban. MERDEKA! HIDUP MAHASISWA! HIDUP MAHASISWA SASTRA!
Ayolah brow ngopi dulu. Bokep bokep bae!